Ijtihad nya kita, tegasnya mengerahkan fikiran dan perbuatan/pekerjaan dalam berfikir pekerjaan yang ditanggung oleh Allah untuk kita, sambil kita gegabah dalam melaksanakan perkara yang diperintahkan oleh Allah , itu menjadi ciri dari butanya hati kita.
Dalam hikmah yang kelima dijelaskan akan ketidak pantasan kita mengerahkan fikiran dan pekerjaan dipakai mikir terhadap urusan yang menjadi tanggung jawab Allah. Serta gegabah dalam melaksanakan pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh kita. Karena seharusnya berjuang dengan sungguh-sungguh dipakai untuk menghasilkan yang diperintahkan oleh Allah, yaitu dari macam-macam tho’at yang bisa menghasilkan keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Sebab tho’at kepada Allah itu membutuhkan perjuangan yang sungguh-sungguh dalam menghadapi tantangannya. Sedangkan urusan dunia di tanggung oleh Allah yaitu rizki yang menjadi kekuatan kehidupan dunia itu sudah menjadi tanggung jawab Allah. Maka itu tidak memerlukan perjuangan yang sungguh-sungguh dalam menghadapi tantangannya, sebab firman Allah waka ayyin min daabbatin laa tahmilu rizqoha Alloohu yar zuquhaa, atau sabda Rasulullah “rizki itu sudah pasti dan diberikan pada waktunya, tidak akan nambah disebabkan taqwa, dan tidak akan berkurang disebabkan ma;siyat”.atau dalam sebuah hadist bahwa manusia pada umur 4 bulan (dalam kandungan) sudah di catat rizkinya.
Jadi bagi manusia yang sudah ditentukan rizkinya tidak perlu repot-repot, susah payah, atau sikut-sikutan. Maka yakin bagi orang yang susah payah mencari rizki, dan lupa terhadap tho’atnya kepada Allah, itu dalil lupanya hati. Sedangkan mencari rizki yang tidak repot-repot/susah payah itu tidak apa-apa, asal jangan mengganggu ibadah kepada Allah.
Diambil dari kitab Al Hikam karangan Assyeikh al Imam Ibni ‘Athoillah Assukandari (hikmah kelima)