Hukum Gadai (Rahn) Dalam Islam

Rahn atau gadai hukumnya sah, yaitu menjaminkan barang yang dapat dijual sebagai jaminan utang, kelak akan dibayar darinya jika si pengutang tidak mampu membayar utangnya karena kesulitan. Karena itu, tidak boleh menggadaikan barang wakaf dan ummul walad (budak perempuan yang punya anak dari tuannya).

Transaksi gadai sah melalui ijab dan kabul seperti, “Aku gadaikan,” lalu dijawab, “Aku terima gadai ini.”

Dalam hal ini disyaratkan pula hendaknya lafaz ijab dan kabul berhubungan langsung dan sesuai pengertiannya, tetapi dalam “gadai” berbeda dengan hal yang ada dalam mu’athah, yaitu dilakukan oleh orang yang berhak men-tasharruf-kan hartanya.

Untuk itu, seorang wali tidak boleh menggadaikan harta anak kecil dan orang gila, baik dia sebagai ayah atau kakek atau pemegang wasiat atau sebagai hakim sekalipun. Tidak boleh pula menerima gadai atas nama keduanya (anak kecil dan orang gila) kecuali karena keadaan darurat atau keuntungan yang jelas, barulah wali atau lainnya boleh menggadaikan dan menerima gadai.

Sebagai contoh ialah wali menggadaikan barang milik orang yang berada dalam perwaliannya untuk jaminan utang buat keperluan nafkah (biaya hidup) orang yang bersangkutan, kelak wali melunasi dari keuntungan yang sedang ditunggunya atau piutang di saat pembayarannya tiba.

Contoh lainnya, wali menerima gadai sebagai jaminan utang yang diberikannya atau barang milik orang yang dalam perwalian, ia jualkan dalam masa tertentu karena keadaan darurat khawatir dirampok atau keadaan darurat lainnya, mengingat menerima gadai dalam keadaan seperti itu merupakan suatu keharusan (demi melindungi harta orang yang berada dalam perwaliannya).

Memberi utang atau iqradh dengan syarat gadai

Diperbolehkan iqradh (memberi utang) dengan syarat gadai atau jaminan. Seandainya seseorang mengatakan, “Berilah utang orang ini sebanyak seratus, dan akulah yang menjaminnya,” kemudian lawan bicara memberinya utang seratus atau sebagiannya, maka dia menjadi penjaminnya menurut pendapat yang paling kuat alasannya, karena diperlukan. Perihalnya sama dengan perkataan seseorang, “Campakkanlah barangmu ke laut, dan akulah yang akan menjamin ganti ruginya.”

Menurut Al Baghawi, seandainya pemilik barang menggugatnya sebagai utang, sedangkan si penerima mengakuinya sebagai barang titipan, maka yang dibenarkan adalah pihak penerima barang, karena pada asalnya tidak ada tanggungan. Lain halnya menurut apa yang tertera di dalam kitab Al Anwar (yakni yang didengar adalah perkataan pemilik barang).

Scroll to Top