Sorotan Bashiroh itu bisa memperlihatkan terhadap kita dekatnya Allah dari kita, dan ‘aen nya bashiroh itu bisa memperlihatkan ke kita terhadap tidak adanya kita dengan sebab wujudnya Allah. Haqqul bashiroh itu bisa memperlihatkan ke kita wujudnya Allah, tidak memperlihatkan terhadap tidak adanya kita dan wujudnya kita.
Tiga macam bashiroh :
- Bashiroh ahli muqorobah
- Bashiroh ahli musahadah, sering disebut ‘aenul bashiroh yaitu nur ‘aenul yaqin.
- Bashiroh mukalamah, sering disebut haqqul bashiroh yaitu nur haqqul yaqin.
Bashiroh yaitu penglihatan hati, seperti bashor merupakan penglihatan mata. Bashiroh untuk penglihatan sebangsa ma’nawi. Bashiroh bisa melihat cahayanya ma’ani ada 5 bagian :
- Bashirotul kuffar yaitu yang rusak penglihatannya, sehingga kurang, terus ingkar terhadap adanya cahaya asli, tegasnya tidak percaya adanya Allah, fainnahaa laa ta’maa al absor walaakin ta’mal quluub allatii fissuduuri, sebenar-benarnya kelakuan itu tidak buta matanya, tetapi buta penglihatan hatinya yang ada di dalam hati.
- Bashirotu ‘aamatil muslimin, sehat penglihatan hatinya, tetapi terhalang disebabkan lemah penglihatannya, karena kedatangan sakit oleh sifat basariyyah tadi.
- Bashirotu ahli muqorobah, yang sehat penglihatannya serta kuat, sehingga dekat dengan dibukakannya, tetapi lantaran kuatnya sorotan cahaya sehingga belum kuasa terhadap membukakan bashirohnya. Maka melihat sorotan dari cahaya saja sambil dekat.
- Bashirotu ahli musahadah, yang kuat penglihatannya, sehingga dibukakan mata penglihatannya, maka melihat cahaya yang meliputi dirinya, sehingga lupa dari dirinya, yang disebut maqom ‘aenul yaqin.
- Bashirotu ahli mukalamah, yang sering disebut haqqul yaqin, tidak melihat kecuali ke cahaya asalnya, sehingga ingkar terhadap yang lainnya.
Nah dari bagian tersebut, 3 yang dikemukakan, yaitu si’aa’ul bashiroh yang bisa memperlihatkan terhadap dekatnya Allah. ‘Aenul bashiroh yang bisa memperlihatkan ke kita tidak adanya kita disebabkan wujudnya Allah. Dan haqqul bashiroh yang memperlihatkan wujudnya Allah, tidak memperlihatkan terhadap tidak adanya kita dan adanya.
Diambil dari kitab Al Hikam karangan Assyeikh al Imam Ibni ‘Athoillah Assukandari (Hikmah ketiga puluh tujuh)