Di bawah ini akan dijelaskan tentang hakikat tafakur yang harus dilakukan oleh ‘abdinya Allah, yang menghasilkan segala keutamaan menurut Allah.
Tafakuran yang dipersiapkan yaitu harus menjalankan hati dipakai untuk berfikir tentang ciptaan Allah. Seperti yang dikatakan Imam Abu Qosim: “tafakur itu jadi sifat bagi orang yang berjuang mencapai tujuan, dan buahnya yaitu akan mencapai tujuannya, tetapi disyaratkan harus dibarengi dengan ilmu”.
Apabila tafakur kemudian selamat dari gangguan, maka akan menyampaikan kepada sumbernya kenyataan yang difikirkannya. Nah ini ada tiga macam, yaitu:
- Tafakurnya zahidin, mentafakuri adanya kerusakan dunia. Artinya berfikir-fikir tentang rusaknya dunia, sehingga dengan melakukan tafakur akan menambah keimanannya. Contohnya seperti mengumpulkan dunia (harta) yang bisa melupakan diri kita dari Allah, yang akhirnya bakal rusak dan ditinggalkan. Sebab kalau kita cinta terhadap dunia (dunia duluan meninggalkan kita atau kita duluan meninggalkan dunia), padahal dunia itu hanya sekedar titipan. Kalau dikelola dalam jalan yang bagus pasti bagus hasilnya, kalau dikelola dalam jalan yang jelek tentu saja hasilnya akan jelek. Maka dengan tafakurnya orang yang tapa’ dari dunia, akan bertambah tapa’nya, maksudnya akan tambah menjauhi hatinya dari dunia.
- Tafakurnya ahli ibadah, yaitu tafakur dari kebaikannya ganjaran/pahala Allah swt. sehingga menjadi bertambah semangat dan bertambah suka/senang dalam beribadah kepada Allah swt.
- Tafakurnya ahli ma’rifat, yaitu tafakur dari macam-macam kenikmatan, sehingga bertambah rasa cintanya kepada Allah swt.
Berkata Imam Al Junaidi: “kumpulan yang paling mulya yaitu berkumpul dengan orang-orang ahli tafakur dalam ajaran/belajar bertauhid kepada Allah swt”.
Jadi tafakur yang diperintahkan oleh Allah swt adalah tafakur dalam ciptaan-Nya, bukan tafakur dalam dzat-Nya. Nabi saw bersabda: tafakkaruu fii khalqihi walaa tafakkaruu fil khaaliqi fainnakum laa taqdiiruuna qadarahu”, “Kalian harus tafakur dari ciptaan Allah, jangan tafakur dalam dzat-Nya. Sebab kalian tidak akan kuasa untuk memikirkan kedudukan Allah swt”.
Diambil dari kitab Al Hikam karangan Assyeikh al Imam Ibni ‘Athoillah Assukandari (hikmah kedua ratus lima puluh satu)