Ghibah ialah menyebut perihal seseorang yang tidak disukainya, baik menyebutnya melalui lisan, tulisan, sindiran atau dengan isyarat mata, tangan, dan kepala.
Batasan pengertian ghibah yang diharamkan ialah semua pengertian yang dilontarkan kepada orang lain untuk mengungkapkan kekurangan seorang muslim, antara lain dengan cara meniru-niru, umpamanya berjalan dengan langkah yang dipincangkan, atau mengangguk-anggukkan kepala, atau gerakan lainnya. dilakukan demikian dengan tujuan meniru-niru keadaan orang yang diejek.
Contoh perbuatan ghibah
Termasuk perbuatan ghibah ialah apabila menulis tentang seseorang, dikatakan bahwa si Fulan demikian, dengan maksud menjelek-jelekkannya. Tetapi jika ia bermaksud menerangkan kekeliruannya agar jangan diikuti atau menjelaskan kelemahan ilmunya agar tidak terperdaya olehnya dan mau menerima pendapatnya, maka hal ini bukan dinamakan ghibah, melainkan nasihat wajib, pelakunya mendapatkan pahala.
Demikian pula apabila seorang penulis mengatakan bahwa segolongan kaum atau jamaah telah mengatakan demikian atau ini merupakan kekeliruan, kesalahan, kebodohan, kelalaian, hal itu tidak termasuk ghibah. Sesungguhnya yang termasuk ghibah hanyalah bila seseorang menggunjingkan perihal orang lain atau suatu jamaah tertentu.
Termasuk ghibah yang diharamkan ialah bila diucapkan bahwa sebagian orang telah melakukan demikian, sebagian ahli fikih, sebagian orang yang mengaku alim, sebagian mufti, sebagian orang yang menisbatkan dirinya ahli kebajikan, mengaku ahli zuhud, seseorang yang pernah lewat kepada kami di suatu hari, seseorang yang pernah ia lihat, atau perkataan lain yang semakna, sedangkan lawan bicara dapat memahaminya tepat seperti yang dimaksud, mengingat hal itu sudah dimengerti.
Diantaranya lagi ialah ghibah yang dilakukan oleh kalangan ahli fiqih dan ahli ibadah, sesungguhnya mereka melakukan ghibah dengan kata-kata sindiran yang mmeberikan pengertian sama dengan perkataan yang jelas. Dikatakan kepada seseorang diantara mereka, “Bagaimana keadaan si Fulan?” maka dijawab, “Semoga Allah memperbaiki kita, semoga Allah mengampuni kita, semoga Allah memperbaikinya. Kami memohon keselamatan kepada Allah, kami memuji kepada Allah yang tidak menguji kita terjerumus ke dalam kegelapan, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan. Semoga Allah membebaskan kita dari sedikit rasa malu, semoga Allah menerima tobat kita.” dan kata-kata lain yang serupa dengan pengertian mencela orang yang dimaksud. Semua itu termasuk ghibah yang diharamkan.
Termasuk pula ghibah bila seseorang mengatakan, “Si Fulan mendapat ujian seperti apa yang pernah kita semua alami, atau dia tidak mempunyai upaya untuk mengelakkan hal ini, kita semua mengerjakannya.”
Ghibah bukan hanya diharamkan bagi pelakunya, melainkan haram pula bagi orang yang mendengar lagi menyetujuinya. Oleh karena itu, apabila seseorang mendengar seseorang mulai melakukan ghibah yang diharamkan, ia wajib mencegahnya bila tidak khawatir pencegahannya itu akan menimbulkan mudarat. Jika ia merasa takut terhadap pelakunya, wajib baginya mengingkari dengan hati dan meninggalkan majelis tersebut jika dapat meninggalkannya. Jika ia mampu mengingkari perbuatan tersebut dengan lisan atau mengalihkan pembicaraan ghibah kepada pembicaraan lain, hal tersebut harus ia lakukan; jika tidak, berarti dia telah berbuat durhaka.
Jika seseorang berkata dengan lisan, “Diamlah,” sedangkan hatinya menginginkan agar ghibah tetap berlangsung, menurut pendapat Abu Hamid Al Ghazali hal ini merupakan nifaq yang tidak dapat membebaskan pelakunya dari dosa. Maka ia diharuskan membenci dengan hati. Apabila seseorang terpaksa harus menetapi majelis tersebut yang didalamnya sedang berlangsung ghibah, sedangkan dia tidak mampu memprotes; atau ia memprotes, tetapi tidak diterima, dan ia tidak mampu meninggalkan majelis tersebut dengan cara apapun, maka diharamkan baginya mendengarkan pembicaraan ghibah. Cara mengelakkannya ialah melakukan zikir kepada Allah dengan hati dibantu oleh lisan atau dengan hatinya saja, atau memikirkan hal lain agar tidak dapat mendengarkannya. Sesudah itu tidak mudarat bila ia tetap mendengar tetapi tidak dengan sepenuh hati dalam keadaan yang telah disebut diatas. Jika sesudah itu ia berkesempatan memisahkan diri dari majelis di saat mereka masih tetap tenggelam di dalam ghibah, maka ia wajib meninggalkan majelis itu.
Allah berfirman dalam surat Al An-am ayat 68:
dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, Maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), Maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).
Diriwayatkan melalui Ibrahim Ibnu Adham yang menceritakan bahwa ia pernah diundang ke suatu walimah, lalu ia hadir, dan mereka mempergunjingkan tentang seorang lelaki yang tidak hadir. Mereka mengatakan bahwa lelaki tersebut gendut. Maka Ibrahim menjawab, “Aku melakukan sendiri perbuatan ini (ghibah) karena aku menghadiri suatu tempat yang di dalamnya dipergunjingkan perihal orang-orang.” Lalu ia keluar dan tidak makan selama tiga hari.
Dalam sebuah syair, disebutkan:
Peliharalah telingamu dari mendengar hal yang buruk, sebagaimana memelihara lisan dari mengucapkannya. Karena sesungguhnya engkau di saat mendengar hal yang buruk berarti bersekutu dengan pelakunya. Karena itu, ingatlah.