Jika seseorang melakukan akad nikah dengan maskawin berupa sesuatu yang tidak mempunyai nilai harga, seperti biji buah kurma, batu kerikil, dan tangkai buah terong serta imbalan pemaafan dari hukuman had, maka penyebutannya tidak sah, mengingat apa yang telah disebutkan di atas tidak termasuk ke dalam pengertian sesuatu yang dapat dijadikan mata penukar.
Mempelai wanita, seperti halnya wali mempelai wanita yang keadaannya kurang sempurna karena belum balig atau karena penyakit gila, dan juga tuan dari budak wanita, semua berhak menahan diri (tidak menyerahkan mempelai wanita kepada suaminya) menunggu penerimaan maskawin tertentu yang tidak diundang atau yang kontan, baik sebagian ataupun seluruhnya.
Maskawin yang diutang
Jika maskawinnya diutang (tidak kontan), maka tidak ada hak bagi mempelai wanita menahan dirinya, sekalipun masa pelunasannya telah tiba sebelum mempelai wanita menyerahkan dirinya kepada suaminya.
Hak menahan diri menjadi gugur karena suami telah menyetubuhinya atas dasar kerelaan pihak istri yang keadaannya telah siap untuk itu. Tetapi bagi mempelai wanita yang keadaannya belum siap (karena belum balig atau belum sembuh dari penyakit gilanya) hendaknya tetap ditahan hingga keadaannya sempurna (telah balig atau sembuh dari penyakit gilanya) kecuali jika yang menyerahkannya (kepada suaminya) adalah pihak wali karena suatu kemaslahatan (kepentingan).
Wajib menunggu kerelaan wanita untuk menyerahkan dirinya
Mempelai wanita wajib ditunggu dengan sabar (masa penyerahan dirinya) karena suatu alasan akan membersihkan diri terlebih dahulu yang disampaikan olehnya secara langsung atau oleh walinya, sesuai dengan saran dan petunjuk kadi, yaitu maksimal selama tiga hari atau kurang dari itu. Akan tetapi, bukan karena alasan menunggu sampai haid dan nifas terhenti.
Memang, jika si istri merasa khawatir suami akan menggaulinya juga (selama ia masih dalam haid atau nifas), hendaklah si istri menyerahkan dirinya kepada suami, tetapi harus menolak bila diajak bersetubuh.
Tetapi jika si istri mengetahui bahwa bertahan diri tidak ada gunanya, sedangkan semua tanda dan gejala menunjukkan bahwa pihak suami pasti akan menyetubuhinya, maka dalam keadaan seperti ini si istri harus tetap bertahan dan jangan menyerahkan dirinya.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani