Azan dan iqamah merupakan perbuatan yang mulia, dan intinya adalah pemberitahuan tentang sudah tibanya waktu shalat dan ajakan untuk melakukan shalat. Ada beberapa hal yang disunatkan dalam azan dan iqamah. Dan beberapa diantaranya akan dijelaskan di bawah ini
Disunatkan berdiri ketika azan dan iqamah, walaupun berazan di tempat yang tinggi. Apabila masjidnya tidak bermenara, sunat di lotengnya, jika tidak ada loteng, di pintunya.
Disunatkan menghadap kiblat dan makruh (tidak melakukannya). Sunat memalingkan muka, namun tidak disertai dada saat azan dan iqamah, dua kali ke kanan ketika azan, masing-masing di saat membaca hayya ‘alash shalaah, dan satu kali ketika iqamah, kemudian mengembalikan mukanya ke kiblat dan berpaling ke kiri dua kali masing-masing di saat membaca hayya ‘alal falaah, dan satu kali ketika iqamah, lalu mengembalikan muka ke kiblat. Demikian pula untuk azan khutbah atau bagi muadzin untuk dirinya sendiri. Ketika tatswib, tidak disunatkan berpaling, hal itu menimbulkan perbedaan pendapat.
Munfarid disunatkan mengeraskan suara azannya lebih dari sekadar terdengar olehnya. Sedangkan muadzin yang azannya ditujukan untuk orang banyak, suaranya harus terdengar oleh lebih dari seorang.
Semua muadzin disunatkan lebih mengeraskan suaranya (sekeras-kerasnya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang banyak) sebab ada perintah dari Nabi saw (ketika mendemonstrasikan cara azan kepada Bila dan lainnya). Sunat memelankan suaranya bila azan di tempat shalat (mushala) yang hendak mendirikan shalat berjamaah (agar tidak menimbulkan kebimbangan mengenai waktu shalat bagi orang-orang yang berada di luar jamaah), begitu pula waktu mereka bubar (dari tempatnya).
Disunatkan tartil dalam bacaan azan dan mempercepat bacaan iqamah, serta men-sukun-kan ra pada takbir pertama. Jika tidak demikian, maka yang lebih fasih dengan dhammah ra. Sunat meng-idgham-kan dal Muhammad pada ra lafaz Rasulullah; bila tidak demikian, termasuk fasihat yang samar.
Seyogyanya mengucapkan ha’ lafaz salat.