Apabila seseorang yang masih menjabat sebagai kadi menyatakan keputusan “Aku putuskan demikian!” di luar wilayah kekuasaannya, yakni di luar jangkauan wewenangnya, keputusan itu tidak dapat diterima karena dia tidak mempunyai hak untuk mengeluarkan keputusan hukum dalam keadaan seperti itu. Dengan demikian, keputusan hukumnya tidak dianggap.
Az-Zarkasyi menyimpulkan pengertian lahiriah pendapat mereka. Apabila seorang kadi diangkat di suatu kota, maka jangkauan wewenangnya tidak mencakup daerah pertanian dan perkebunan yang ada di sekitarnya. Untuk itu, seandainya ketika berada di salah satu daerah pertanian atau daerah perkebunan itu dia mengawinkan seorang wanita dari kota atau sebaliknya (di kota ia mengawinkan seorang wanita dari daerah perkebunan), maka perwaliannya ini tidak sah. Menurut pendapat yang lain, hal itu masih perlu dipertimbangkan.
Menurut ulama bahwa perlu adanya pertimbangan itu memang jelas. Bahkan menurut pendapat yang cukup beralasan, jika menurut tradisi yang berlaku dapat dinyatakan keikutsertaan atau tidaknya kawasan tersebut, hal inilah yang dijadikan pegangan. Tetapi jika tidak ada ketentuan tradisi yang memberlakukan demikian, yang dijadikan pegangan hanyalah merujuk kepada teks pengangkatannya yang dilakukan oleh imam. Dengan kata lain, kekuasaan kadi yang bersangkutan tetap dibatasi (tidak menjangkau kedua daerah tersebut).
Pendapat kitab Al Minhaj memberikan kesan pemahaman bahwa seorang kadi yang berada di luar daerah jangkauan wewenangnya sama saja dengan orang yang tidak memiliki jabatan kadi. Dengan kata lain, semua tindakan wewenangnya yang dapat ia lakukan di daerah kekuasaannya tidak dapat dipakai dalam wilayah ini, misalnya menyewakan barang wakaf yang kepengurusannya dipegang oleh kadi, atau menjual harta anak yatim, atau menetapkan tugas kerja seorang pegawai.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani