Shalat witir disunatkan sesudah shalat isya, berdasarkan hadis yang menyatakan bahwa shalat witir itu hak bagi setiap muslim.
“Barang siapa yang menghendaki lima rakaat, kerjakan; tiga rakaat, kerjakan; atau satu rakaat, silakan” (Riwayat Abu Daud)
Menurut Imam Abu Hanifah, shalat witir itu hukumnya wajib. Shalat witir itu lebih afdhal daripada semua shalat rawatib, sebab adanya perbedaan paham bahwa hal itu wajib.
Shalat witir paling sedikit 1 rakaat, walaupun tidak didahului oleh shalat sunat isya dan yang lainnya. Untuk mendapat kesempurnaan, paling sedikit tiga rakaat, namun yang lebih sempurna dari itu adalah 5 rakaat, 7 rakaat, atau 9 rakaat.
Yang paling banyak adalah 11 rakaat, tidak boleh melebihinya dengan niat shalat witir. Sesungguhnya shalat witir itu dikerjakan dengan ganjil. Apabila seseorang bertakbiratul ihram untuk shalat witir, namun tidak meniatkan bilangan rakaatnya, maka sah shalatnya dan dia bebas shalat sekehendak hatinya (asal tidak melebihi rakaat yang telah ditentukan), menurut kaul yang termasyhur.
Sebagaimana pembahasan sebagian ulama yang mengikutsertakannya pada shalat sunat mutlak. Apabila dia berniat mengenai ssesuatu bilangan, ia boleh menambah atau menguranginya. Hal itu merupakan suatu khayalannya, dan paham itu jelas salah.
Menurut sebagian ulama, pendapat Imam Ghazali yang berasal dari Imam Faurani mengenai paham yang diambilnya demikian (boleh menambah atau mengurangi dari yang diniatkan), juga merupakan khayalan belaka, sebagaimana yang dapat diketahui dari kitab Basith.
Berlakunya paham yang tidak memperbolehkan menambah atau mengurangi dari yang diniatkan itu berkenaan dengan orang yang bertakbiratul ihram hendak shalat sunat Lohor empat rakaat dengan niat washal. Maka ia boleh memisahkannya dengan dua rakaat-dua rakaat walaupun dia sudah berniat memisahkannya sebelum mengurangi bilangan rakaai itu. Hal ini berbeda dengan pendapat orang yang mengkhayalkan bahwa itu boleh.