Apabila manusia ingin terlihat oleh makhluk dalam segala keistimewaan dari Allah, itu menunjukkan tidak adanya kejujuran di dalam diri orang tersebut. Sebab seharusnya hanya ingin terlihat oleh Allah, jangan ingin terlihat oleh makhluk. Jadi kita harus menyembunyikan keistimewaan yang ada di diri kita dari penglihatan makhluk, dan merasa cukup dengan penglihatan Allah yang dibarengan dengan rahmat.
Jadi kita harus memperhatikan dan berusaha ingin dilihat oleh Allah dengan penglihatan rahmat, yang mewujudkan datangnya keunggulan dari Allah dan pertolongan-Nya. Sedangkan penglihatan makhluk itu tidak perlu dibutuhkan dan tidak perlu diusahakan. Sebab penglihatan makhluk itu wujudnya ‘aridhi, maka penglihatannya tidak ada pengaruhnya, sehingga tidak perlu ingin dipuji dan jangan takut dicela oleh makhluk.
Didalam akhir hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas diceritakan bahwa: “…………apabila manusia sedang berkumpul, berkeinginan menolong kita. maka tidak akan bisa menolong kecuali suatu perkara yang sudah ditentukan oleh Allah. Atau semuanya berkumpul dengan tujuan untuk merusak kita, maka tidak akan bisa merusak kecuali suatu perkara yang sudah ditentukan oleh Allah terhadap kita.”
Jadi walaupun manusia seluruhnya berkumpul lalu berjuang untuk menolong ataupun dengan niat untuk merusak, maka tidak akan terjadi atau menjadi kenyataan kecuali kalau sudah diberikan oleh Allah.
Perjuangan makhluk itu pada hakikatnya tidak ada akibatnya, oleh karena itu kita harus ingin dilihat hanya oleh Allah swt. Serta berusaha dan berjuang ingin dilihat oleh Allah dengan penglihatan rahmat. Sebab kita harus yakin bahwa tingginya dan rendahnya martabat kita itu adalah atas kehendak Allah.
Didalam kitab latha iful manan dijelaskan bahwa wali itu merasa cukup dengan penglihatan Allah dan ilmu-Nya, serta memperhatikan musyahadah kepada Allah. Sebab menurut firman Allah: “waman yatawakkal ‘alallaahi fahuwa hasbuhu”, kalau kita tawakal kepada Allah maka Allah akan mencukupi segala kebutuhan kita.
Kita juga harus menyembunyikan diri/menjauhkan diri dari menghadap-hadapnya makhluk kepada kita. Intinya jangan menginginkan orang-orang menghadap kepada kita, tetapi harus merasa cukup dengan bisa musyahadah kepada Allah. Dan menyatakan bahwa bahwa sebenar-benarnya Allah menghadap kepada kita, sehingga dengan demikian Allah itu melihat kepada kita dengan sifat bashar-Nya dan mendengar dengan sifat sama’-Nya, mengetahui dengan sifat ilmu-Nya.
Apabila bisa seperti itu maka selamanya akan bertambah sifat kesempurnaanya, karena orang yang sudah benar-benar menghadap Allah, sikap dan tingkahnya pasti bagus dan beradab.
Diambil dari kitab Al Hikam karangan Assyeikh al Imam Ibni ‘Athoillah Assukandari (hikmah keseratus lima puluh sembilan)