Bagi seorang muslim sudah seharusnya mengucapkan Insya Allah, ketika akan melakukan sesuatu, atau datang pada suatu tempat atau berjanji terhadap orang lain. Ucapan “Insya Allah” sendiri mempunyai makna dan sejarah yang sangat penting dan berharga bagi seorang muslim. Di bawah ini adalah riwayatnya :
“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (al-Quran)” (Q.S. Al-Kahf ayat 6)
“Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan mempunyai raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan kami yang mengagumkan?” (Q.S. 18. Al-Kahf : 9)
“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi.” (Q.S. Al Kahf : 23)
Kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah”. Dan ingatlah kepada Rabb-mu jika kamu lupa dan katakanlah: “Mudah-mudahan Rabb-ku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.” (Q.S. 18. Al-Kahf : 24)
“Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” (Q.S. 18. Al-Kahf : 25)
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa kaum Quraisy mengutus an-Nadlr bin al-Harits dan ‘Uqbah bin Abi Mu’aith untuk bertanya tentang kenabian Muhammad, dengan jalan menceritakan sifat-sifat Muhammad dan segala sesuatu yang di ucapkan olehnya, kepada pendeta-pendeta Yahudi di Madinah. Orang-orang Quraisy menganggap bahwa pendeta-pendeta itu mempunyai keahlian dalam memahami kitab yang diturunkan lebih dahulu dan mempunyai pengetahuan tentang tanda-tanda kenabian yang orang Quraisy tidak mengetahuinya.
Maka berangkatlah kedua utusan tadi ke Madinah dan bertanya kepada pendeta-pendeta Yahudi itu sesuai dengan apa yang diharapkan kaum Quraisy. Berkatalah pendeta itu kepada utusan Quraisy: “Tanyakanlah olehmu kepada Muhammad tentang tiga hal. Jika ia dapat menjawabnya, maka ia Nabi yang diutus. Akan tetapi jika ia tak dapat menjawabnya, maka ia hanyalah orang yang mengaku-aku jadi nabi. Pertama tanyakanlah kepadanya tentang pemuda-pemuda pada zaman dahulu yang bepergian dan apa yang terjadi pada mereka, karena cerita tentang pemuda ini sangat menarik. Kedua, tanyakanlah kepadanya tentang seorang pengembara yang sampai ke masyrik dan magrib dan apa pula yang terjadi padanya. Dan ketiga, tanyakan pula kepadanya tentang ruh.”
Maka pulanglah kedua utusan tadi kepada kaum Quraisy dan berkata: “Kami datang membawa sesuatu yang dapat dipergunakan untuk menentukan sikap antara tuan-tuan dan Muhammad.” Mereka pun berangkat menghadap Rasulullah saw. dan menanyakan ketiga persoalan tersebut. Rasulullah saw. bersabda: “Aku akan menjawabnya tentang hal-hal yang kamu tanyakan itu” (tanpa menyebutkan Insya Allah). Maka pulanglah mereka semuanya.
Rasulullah saw, menunggu-nunggu wahyu sampai lima belas malam lamanya. Namun Jibril tidak kunjung datang kepadanya. Hal ini membuat orang-orang mekah goyah dan beliau merasa sedih karenanya. Beliau tidak tahu apa yang harus dia katakan kepada kaum Quraisy. Pada suatu ketika datanglah Jibril membawa surah al-kahf yang didalamnya menegur Nabi saw. atas kesedihannya karena perbuatan mereka (Q.S. 18. Al-Kahf : 6); menerangkan apa-apa yang mereka tanyakan tentang pemuda-pemuda yang bepergian (Q.S. 18. Al-Kahf : 9 – 26); tentang seorang pengembara (Q.S. 18. Al-Kahf : 83 – 101); serta firman Allah tentang ruh (Q.S. 18. Al-kahf : 85).
Dari Asbabun Nuzul di atas jelas bahwa pada Q.S. 18. Al-Kahf : 24 merupakan teguran bagi Nabi saw. Jika kita renungkan bahwa Rasulullah saw. sendiri ditegur ketika menjanjikan sesuatu tanpa mengucap Insya Allah, apalagi kita selaku ummat beliau yang banyak sekali dosa dan kesalahannya. Namun jangan pula kalimat Insya Allah menjadi tameng atau alasan untuk tidak berusaha sekuat tenaga melaksanakan janji.