Bolehkah Hakim Membatalkan Transaksi Jual Beli

Jika kedua belah pihak bersengketa (pembeli dan penjual), maka masing-masing pihak atau hakim berhak membatalkan transaksi, sekalipun kedua belah pihakdak meminta untuk dibatalkan. Sikap ini untuk memutuskan persengketaan, tetapi dalam kasus ini tidak wajib segera dilakukan.

Sesudah pembatalan transaksi, barang yang terjual dikembalikan berikut tambahannya yang bersifat menyatu. Jika barang yang terjual itu rusak secara visual atau menurut penilaian syara’ dianggap tidak utuh lagi, misalnya diwakafkan atau dijual kepada orang lain, maka pembeli diharuskan mengembalikannya dengan barang semisal jika barang tersebut dapat dicari gantinya yang sama, atau harganya jika barang yang terjual merupakan barang yang dapat dihargakan.

Pembeli diharuskan mengembalikan harga budak yang minggat dari tangan pembeli kepada pihak penjual, sedangkan transaksi penjualannya dibatalkan. Harganya ditaksir menurut harga pasaran di saat budak tersebut minggat, menurut pendapat yang kuat.

Perlu atau tidaknya sumpah untuk menyelesaikan sengketa transaksi jual beli

Seandainya salah seorang dari kedua belah pihak mendakwakan terjadinya transaksi jual beli, sedangkan pihak lain mendakwakan gadai atau hibah; misalnya salah seorang dari keduanya mengatakan, “Aku menjualnya kepadamu dengan harga seribu dirham, ”Sedangkan pihak yang lain mengatakan, “Tidak, bahwa engkau menggadaikannya kepadaku,” atau “Menghibahkannya kepadaku,” maka keduanya tidak disuruh untuk bersumpah karena tiada kesepakatan atas satu transaksi.

Akan tetapi, masing-masing pihak disumpah untuk menyangkal tuduhan yang dilancarkan oleh lawan perkaranya, sebab pada asalnya tidak terjadi transaksi. Kemudian pihak yang mengakui transaksi jual beli diharuskan mengembalikan yang seribu tadi karena dia telah mengakuinya. Akhirnya dia harus meminta kembali barangnya berikut semua tambahan, baik yang menyatu maupun yang terpisah.

Apabila kedua orang yang bertransaksi itu bersengketa, yaitu salah seorang mendakwakan bahwa transaksi mereka mengandung hal yang membatalkannya, misalnya salah satu dari rukun atau syaratnya tidak terpenuhi. Misalnya salah seorang mendakwakan telah melihat adanya cela pada barang yang diobjekkan, sedangkan pihak lain menyangkalnya.

Maka pihak yang mendakwakan sahnya akad lebih diprioritaskan untuk disumpah karena mempertimbangkan sikap lahiriah orang mukallaf, yaitu menjauhi hal-hal yang membatalkan, dan dia dimenangkan atas kaidah asal yang menyatakan tidak adanya keabsahan akad, karena prinsip syariat dalam masalah ini lebih cenderung menganjurkan berlangsungnya akad.

Akan tetapi, adakalanya pihak yang mendakwa rusaknya akad dapat dibenarkan. Misalnya pihak penjual mengatakan, “Aku masih belum balig di saat transaksi jual beli diadakan,” sedangkan pihak pembeli menyangkalnya, padahal apa yang dikatakan oleh pihak penjual mengandung hipotesis yang benar. Maka dia dibenarkan melalui sumpah karena pada asalnya dia belum mencapai usia balig.

Jika kedua belah pihak berselisih pendapat, apakah telah terjadi perdamaian yang menyatakan ingkar atau pengakuan, maka yang dibenarkan ialah pihak yang mendakwakan ingkar, sebab hal inilah yang kebanyakan terjadi.

Barang siapa ketika sakit menghibahkan sesuatu, kemudian ahli warisnya mendakwa bahwa akal si sakit tidak waras lagi di saat menghibahkannya, maka dakwaan mereka tidak diterima kecuali jika memang diketahui bahwa si sakit benar-benar sudah linglung sebelum menghibahkannya, lalu mereka mendakwa bahwa kelinglungannya terus berlangsung hingga saat dia menghibahkannya.

Dapat dibenarkan orang yang mengingkari terjadinya pokok masalah semacam masalah jual beli (yang dimaksud ialah setelah disumpah).

Scroll to Top