Semua kejadian yang ada di makhluk, adanya dan tidak adanya itu bersandar kepada ketentuan Allah. Maksudnya adanya dan tidak adanya itu diadakan dan ditiadakan oleh sifat qudratnya Allah, seperti yang sudah ditentukan oleh sifat iradat-Nya.
Jadi hakikatnya kejadian semua perkara itu sudah ada ketentuannya. Dengan sudah adanya ketentuan, maka wajib bagi kita dalam rangka melaksanakan ladang iman terhadap qadha dan qadharnya Allah. Kita harus pasrah terhadap segala kejadian, sebab kalau tidak ditentukan oleh Allah tidak akan terjadi. Seperti yang difirmankan Allah swt: “Lan yushi banaa illaa maa kataballaahu lanaa”, tidak akan datang musibah kepada kita semua, kecuali musibah yang sudah ditentukan oleh Allah datangnya kepada kita semua. Nah hakikatnya disini untuk menyatakan hati kita agar pasrah.
Sedangkan kalau syariat itu adalah pekerjaan anggota badan, jadi kita harus berusaha. Sebab kita diperintahkan menjalankan syariat, yaitu seperti firman Allah: “Lahaa maa kasabat wa’alaihaa mak tasabat”, manfaat bagi badannya manusia semua pekerjaannya. Maka apabila kerja bagus bakal mendapatkan kebaikan, kalau kerja buruk akan mendapatkan keburukan. Dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk berusaha untuk menghasilkan kemulyaan dan keselamatan. Tapi pada hakikatnya keselamatan yang kita dapatkan itu sudah dipastikan oleh Allah.
Jadi jalan keselamatan dan kebahagiaan ada dua, yaitu:
- Jiwa raga kita harus berusaha dengan sebenar-benarnya.
- Hati harus pasrah terhadap ketentuan Allah.
Allah swt akan membuat (menghendaki) terhadap semua ketentuan-Nya dan pilihan-Nya, tidak akan membuat (menghendaki) penentuan manusia dan keinginan manusia. Maka orang fakir yang sabar dijadikan kekasih Allah bukan disebabkan fakirnya, dan orang kaya yang tidak eling (ingat) dijauhkan oleh Allah bukan disebabkan kayanya.
Diambil dari kitab Al Hikam karangan Assyeikh al Imam Ibni ‘Athoillah Assukandari (hikmah keseratus enam puluh enam)