Dzikir Paling Utama

Alhamdulillaah dan Laa ilaaha illallaah

Nabi Muhammad saw bersabda, “Dzikir yang lebih utama adalah Laa ilaaha illallaah, sedang doa yang lebih utama adalah Alhamdulillaah.”

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Jabir ra. Alhamdulilaah dalam hadis ini dijadikan doa utama karena doa itu adalah suatu ungkapan mengenai dzikir seorang hamba kepada Tuhannya dan permohonannya kepada Tuhannya itu akan karunia-Nya. Maka di dalam Alhamdulillaah arti itu telah ada, karena di dalamnya ada menyebut nama Allah dan memohon tambahan, sebab Alhamdulillaah adalah pangkal dari syukur, sedang dasarnya adalah sabda Nabi Muhammad berikut ini:

“Alhamdulillaah adalah pangkal dari syukur, seorang hamba tidak disebut bersyukur jika tidak memuji kepada Allah.”

Dan syukur menyebabkan tambahan nikmat yang disyukuri. Allah berfirman dalam surat Ibraahim ayat 7, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur tentu Aku benar-benar akan menambah kepada kamu.”

Jadi orang yang membaca Alhamdulillaah maka seakan-akan dia memohon kepada Allah akan tambahan karunia-Nya setelah memuji-Nya lebih dahulu. Adapun Laa ilaaha illallaah merupakan dzikir paling utama, karena di dalamnya terdapat sebuah arti yang tidak ditemukan dalam dzikir yang lain.

Dan dengan mengetahui arti yang tersebut berhasillah bagi seorang mukallaf semua hal yang diwajibkan baginya untuk mengetahuinya mengenai Allah swt. Itulah arti dari menetapkan ketuhanan bagi Allah dan meniadakan ketuhanan itu dari segala sesuatu selain Allah.

Telah diketahui dalam arti ketuhanan, semua hal yang wajib diketahui oleh seorang mukallaf, yaitu sifat yang wajib bagi Allah, yang mustahil bagi-Nya, dan yang jaiz bagi-Nya. Karena ketuhanan itu mengandung dua arti:

  1. Adanya Allah tidak menghajatkan kepada segala sesuatu selain Dia.
  2. Adanya segala sesuatu selain Dia menghajatkan kepada-Nya.

Berdasarkan ini semua, maka arti kalimat tauhid itu adalah “Tidak ada sesuatu yang tidak menghajatkan kepada selain Allah kecuali Allah. karena itu wajiblah bagi-Nya sifat wujud (ada), qidam (dahulu), baqa’ (abadi). Sebab jika tidak wajib bagi-Nya sifat-sifat ini tentu Dia menghajatkan kepada orang yang membuat-Nya. Mengapa tidak? sebab tidak adanya sifat-sifat ini mengharuskan bahwa wujud Allah adalah baru, dan setiap sesuatu yang baru menghajatkan kepada orang yang membuat-Nya. Demikian pula wajib bagi Allah suci dari sifat-sifat kurang, dan masuk dalam sifat bersih dan suci dari segala sifat kurang itu wajibnya sifat sama’ (mendengar), bashar (melihat), dan kalam (berfirman).

 

Sumber: Durrotun Nasihin

Scroll to Top