Menutup aurat merupakan salah satu dari syarat shalat. Seorang laki-laki, walaupun anak-anak, dan wanita budak, baik mukatab ataupun ummulwalad, wajib menutuo bagian anggota badannya antara pusat ampai lutut, walaupun di tempat yang sunyi dan gelap (shalat di tempat yang gelap dan sendirian). Hal ini berdasarkan hadis shahih yang menyatakan, “Allah tidak menerima shalat seseorang yang haid (telah baligh) kecuali dengan menutup kepalanya.”
Tetap wajib menutup sebagian lutut dan pusat supaya auratnya jelas tertutup. Sedangkan aurat bagi perempuan mereka, walaupun anak-anak, yaitu wajib menutup seluruh badan, selain muka dan kedua telapak tangan, yaitu punggung telapak tangan dan telapak kedua tangan sampai pergelangan, dengan penutup yang dapat menutup seluruh warna kulit dari pandangan umum (tidak terlihat kulitnya ketika berhadapan). Demikian pendapat Syeikh Ahmad bin Musa bin ‘Ujail.
Sebagai penutup aurat itu boleh menggunakan kain atau pakaian yang dapat memperlihatkan benuk tubuh (misalnya celana yang sempit), tetapi hukumnya khilaful aula (menyalahi kesempurnaan). Wajib menutup aurat bagian atas dan samping, namun tidak wajib menutup bagian bawah, yang demikian itu bagi laki-laki, perempuan, dan wanita budak yang mampu menutupnya.
Bagi orang yang tidak mempunyai kain penutup aurat, boleh shalat dengan telanjang dan tidak wajib mengulanginya walaupun dia memiliki penutup aurat yang mutanajis namun sukar membersihkannya, meskipun sampai menghabiskan waktu shalat (sehingga shalatnya harus diqadha).
Seandainya hanya bisa menutup sebagian aurat, maka wajib menutupnya dengan pakaian seadanya dan harus mendahulukan menutup qubul dan dubur. Jka tidak cukup maka qubul saja, kemudian baru dubur. Tidak boleh shalat sambil telanjang bila memiliki kain sutera, sebab mempergunakan kainsutera itu diperbolehkan bila keadaan darurat. (menurut kaidah ilmu fiqih, keadaan darurat memperbolehkan yang dilarang).
Wajib melumurkan tanah (lumpur) pada aurat kalau tidak memiliki baju atau lainnya. Orang yang berpakaian boleh bermakmum kepada orang yang telanjang, tetapi orang yang telanjang tidak boleh menggasab pakaian orang lain.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani