Upaya syar’i untuk menghindari riba, walaupun menurut sebagian ulama ahli fiqih boleh, tetapi makruh menurut sebagian yang lain. pendapat yang makruh itulah yang lebih kuat. Bentuk upaya atau hilah itu adalah seseorang yang berhutang sepuluh dirham akan dibayar sepuluh setengah dirham dalam waktu satu bulan. Beginilah contohnya.
A menjual sepotong pakaian yang berharga sepuluh dirham dengan harga sepuluh dirham pula kepada B. B menerima pakaian itu dan A mengambil sepuluh dirham. Lalu dalam majelis itu B berkata, “Aku akan menjual pakaian ini dengan harga sepuluh setengah dirham.” A yang mau berhutang uang membelinya dengan harga tersebut pada waktu tertentu. Riba disini telah hilang. Tetapi yang lebih baik hilah seperti ini tidak dikerjakan. Karena takwa adalah lebih baik daripada fatwa.
Atau contoh yang lain.
Orang yang memberi hutang (misalnya X) menjual sepotong pakaian senilai dua belas dirham kepada orang yang berhutang (Y) dengan harga dua belas dirham pula, tetapi di bayar dalam waktu tertentu (sebulan berikutnya misalnya). Kemudian orang yang berhutang menjualnya kepada orang lain (yaitu Z) dengan harga sepuluh dirham.
Orang lain (yaitu Z) menjualnya lagi kepada penjual pertama yang juga pemberi hutang (X) dengan harga sepuluh dirham juga, sambil berkata, “Berikanlah sepuluh dirham itu kepada (Y) yang telah menjual pakaian ini kepadaku.”
Apabila penjual pertama yaitu orang yang membeli dari orang lain, dan sekaligus juga orang yang memberi hutang (X) telah memberikan sepuluh dirham kepada orang yang berhutang (Y), maka orang yang berhutang (Y) adalah sebagai orang yang berhutang kepada orang yang memberi hutang itu (X) dengan dua belas dirham. Kelebihan dua dirham inipun bukan riba. Tetapi bagi seorang mukmin hendaklah memelihara diri dari bentuk muamalah yang tidak memenuhi aturan agam, sehingga tidak dituntut di akhirat kelak.
Sumber: Durrotun Nasihin