Makna Tauriyah dan Contoh Tauriyah

Ta’ridh dan tauriyah (diplomasi)

Tauriyah dan ta’ridh mempunyai makna yang sama, yaitu mengucapkan suatu kalimat yang bermakna jelas, sedangkan yang dimaksud adalah makna lain yang masih terkandung di dalam kalimat tersebut, hanya berbeda dengan makna lahiriahnya. Ini merupakan suatu jenis tipuan dan bujukan (diplomasi).

Menurut para ulama, apabila terdesak oleh maslahat syar’iyyah yang kuat untuk melakukan tipuan terhadap lawan bicara atau terdesak oleh keperluan yang tidak ada jalan lain kecuali dengan berdusta, maka tidak dilarang memakai ungkapan diplomasi. Tetapi jika tidak terdorong oleh sesuatu pun dari hal tersebut, hukumnya makruh, tidak haram. Dikatakan haram apabila hal tersebut dipakai sebagai sarana untuk merampas sesuatu secara batil untuk menolak perkara yang hak.

Atsar yang melarang ialah seperti yang diriwayatkan di dalam kitab Suna Abu Daud dengan sanad yang di dalamnya terkandung ke-dhaif-an, tetapi Imam Abu Daud tidak men-dhaif-kannya sehingga hal ini memberikan pengertian bahwa hadis tersebut adakalanya hasan menurutnya. Atsar ini diriwayatkan melalui Sufyan ibnu Asid yang menceritakan:

Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Merupakan khianat besar bila engkau mengemukakan suatu pembicaraan kepada saudaramu, sedangkan dia percaya kepadamu, padahal engkau berdusta terhadapnya.”

Diriwayatkan melalui Ibnu Sirrin, bahwa ia pernah mengatakan:

Ucapan itu lebih luas daripada kedustaan yang dilakukan oleh orang yang cerdik.

Contoh ta’rid (sindiran) yang diperbolehkan ialah seperti yang dikatakan oleh An Nakha’i rahimahullah, “Apabila sampai kepada seorang lelaki suatu berita darimu, ketika engkau menyampaikan hal itu kepadanya, engkau katakan, ‘Allah mengetahui bahwa aku sama sekali tidak mengatakan sesuatu pun dari hal tersebut,’ lalu si pendengar memahami sebagai kata negatif, padahal yang engkau maksud ialah ‘Allah mengetahui apa yang aku katakan,.”

An Nakha’i mengatakan pula, ‘Janganlah engkau katakan kepada anakmu, ‘Aku akan membelikan kembang gula untukmu,’ melainkan katakanlah, ‘Bagaimana menurutmu jika aku belikan kamu kembang gula?’. Bila ada seorang lelaki mencarinya, An Nakha’i mengatakan kepada pelayan wanitanya, “Katakanlah kepadanya agar aku mencariku di dalam masjid.” Sedangkan selain dia berpesan kepada anaknya (untuk menjawab), “Ayahku baru saja keluar.”

Asy Sya’bi acapkali membuat suatu lingkaran, lalu mengatakan kepada pelayannya, “Letakkanlah telunjukmu pada lingkaran ini dan katakan (kepada orang yang mencariku), ‘Dia tidak ada di sini’.” Disamakan dengan hal ini perkataan seseorang kepada orang yang mengundangnya untuk makan, “Aku sedang melakukan suatu niat,” dengan memberikan pengertian bahwa seakan-akan dia sedang puasa, padahal maksud yang sebenarnya ialah niat untuk tidak makan (memenuhi undangannya).

Disamakan dengan kasus diatas ialah bila seseorang bertanya, “Apakah engkau melihat si Fulan?” lalu ia menjawab, “Aku tidak melihatnya,” dengan maksud bukan untuk menyakiti hatinya.

Andaikata seseorang bersumpah dengan menyebut salah satu dari hal tersebut, lalu ia memakai ungkapan tauriyah dalam sumpahnya, maka ia tidak melanggar sumpah, baik ia bersumpah dengan nama Allah ataupun dnegan talak ataupun dengan hal lainnya; maka talaknya tidak jatuh, begitu pula hal lainnya. ketentuan ini berlaku apabila ia tidak dituntut untuk bersumpah oleh kadi dalm suatu kasus tuduhan. Jika kadi menyumpahnya dalam suatu tuduhan, maka hal yang dianggap ialah niat dari kadi jika si kadi menyumpahnya dengan menyebut nama Allah. jika kadi menyumpahnya dengan menyebut talak, maka hal yang dianggap adalah niat pihak yang bersumpah, karena kadi tidak boleh menyumpahnya dengan nama talak. Kemudian di kadi sama dengan orang lain.

Perkataan dusta yang diharamkan

Imam Ghazali mengatakan, termasuk perbuatan dusta yang diharamkan dan menjerumuskan pelakunya kepada perbuatan fasik ialah apa yang biasa dilakukan oleh tradisi dalam ber-mubalaghah (berlebihan), yaitu seperti ucapan seseorang, “Aku telah mengatakan kepadamu sebanyak 100 kali,” atau “Aku telah mencarimu sebanyak 100 kali,” dan lain sebagainya. sesungguhnya ungkapan ini tidak dimaksud menunjukkan bilangan, melainkan mmeberikan pengertian berlebihan atau mubalaghah. Jika pencarian yang dilakukan oleh seseorang hanya sekali, berarti ia telah berdusta. Jika ia melakukan pencarian dalam beberpaa kali tidak seperti biasanya, maka ia tidak berdosa. Jika pencariannya tidak mencapai seratus kali dengan perbedaan yang mencolok, maka ia telah melakukan perbuatan dusta.

Rasulullah pernah bersabda:

Adapun Abu Jahm, maka ia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya; dan dadapun Mu’awiyah, maka ia orang yang miskin (tidak berharta).

Telah kita maklumi bahwa Mu’awiyah mempunyai pakaian yang disandangnya, dan Abu Jahm tentu saja meletakkan tongkatnya di waktu tidur dan waktu lainnya.

Scroll to Top