Ash-shiyal (tindakan sewenang-wenang)

Arti ash-shiyal

Ash-shiyal artinya “perbuatan sewenang-wenang dan melanggar hak orang lain.”

Melawan perampok demi harta, jiwa dan kehormatan

Seseorang diperbolehkan melawan setiap perampok muslim, kafir, mukallaf, dan lainnya yang menyerang orang ma’shum (dilindungi) karena hendak merampas jiwa atau anggota tubuhnya, barangnya, kemaluannya, dan perbuatan seperti mencium dan memeluknya; hartanya, sekalipun bukan berupa uang, menurut peristilahan mereka, seperti biji jewawut; atau barang yang bersifat khusus, seperti kulit bangkai hewan, baik milik si pembela sendiri ataupun milik orang lain.

Demikian itu karena ada hadis sahih yang mengatakan bahwa sesungguhnya orang yang tewas karena membela darahnya atau harta bendanya atau istrinya, dia adalah seorang yang mati syahid.

Ditetapkan kepadanya bahwa dia boleh membunuh dan berperang, yakni melakukan semua tindakan yang lazim dilakukan oleh seseorang, sekalipun ia harus melukai atau membunuh orang yang merampok, demi keselamatan diri, harta benda atau istri, dan keluarganya.

Bahkan sekalipun jiwa atau anggota tubuhnya tidak terancam, ia diwajibkan menyelamatkan kehormatan dan menangkal semua perbuatan yang menjurus kepada pemerkosaan, sekalipun hal tersebut dilakukan untuk membela selain kerabatnya.

Wajib pula melawan perampok demi menyelamatkan jiwa, sekalipun yang dibela adalah budak belian yang sedang diancam oleh orang kafir atau hewan buas atau orang muslim yang darahnya tidak terlindungi, misalnya pezina muhshan, orang yang meninggalkan salat, dan pembegal jalan yang pantas dihukum mati. oleh karena itu, haram baginya menyerahkan diri kepada mereka (para perampok).

Tetapi jika orang yang mengancam adalah seorang muslim yang darahnya terlindungi, tidak wajib baginya membela diri, melainkan boleh menyerah kepadanya, bahkan disunatkan, karena ada perintah yang menganjurkannya.

Perintah yang dimaksud adalah sebuah hadis yang mengatakan:

Jadilah kami seperti orang terbaik dari kedua anak Adam (yakni Qabil dan Habil). Yang paling baik dari keduanya ialah orang yang dibunuh (yakni Habil), karena dia menyerahkan dirinya kepada si pembunuh dan tidak membela diri.

Berdasarkan perintah inilah Utsman r.a. menyerah, bahkan ia berkata kepada semua budaknya yang berjumlah 400 orang, “Barang siapa di antara kalian yang meletakkan senjatanya, maka dia merdeka.”

Tidak wajib membela harta milik pribadi yang tidak ada nyawanya (yakni benda mati).

 

Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani

Scroll to Top