Apabila suami istri berselisih pendapat, pihak istri menyatakan bahwa dirinya masih mahram suaminya melalui kaitan radha’ (persusuan) misalnya, kemudian pihak suami menyangkalnya, maka istri yang mengakui dirinya masih mahram suaminya gdisumpah dan sumpahnya dibenarkan, dan pernikahan keduanya jelas batal.
Selanjutnya keduanya dipisahkan jika pihak istri menyatakan ketidakrelaannya di saat akad nikah, bukan sesudahnya, karena faktor dia dipaksa kawin, atau pemberian persetujuannya bukan terhadap calon suami yang tertentu, lalu ia mengemukakan ketidakrelaannya sesudah akad nikah melalui ucapannya tanpa menyerahkan dirinya kepada si suami, karena ada kemungkinan apa yang ia tuduhkan kepadanya benar, mengingat sebelumnya tidak ada gejala-gejala yang bertentangan dengan hal itu. Sebagai contohnya ialah si istri memulai mengatakan, “Si Fulan ini (mempelai laki-laki) adalah saudara lelaki sepersusuanku,” maka si wanita itu tidak boleh dinikahkan dengannya.
Tetapi jika si istri rela dan tidak mau mengemukakan alasannya, misalnya lupa atau keliru, maka sangkalannya itu tidak dapat diterima.
Jika si istri terlebih dahulu mengemukakan alasannya, maka sangkalannya itu dapat diterima karena cukup beralasan, tetapi pihak suami diminta kesediaannya untuk bersumpah (menyangkal) terhadapa tuduhan istri yang pada ala mulanya rela, kemudian menyangkal karena faktor lupa atau keliru.
Demikianlah uraian dari kami, semoga penjelasan di atas bisa bermanfaat bagi kita semua, baik di dunia maupun di akhirat.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani