Shuluh hukumnya boleh bila disertai dengan ikrar (pengakuan). Shuluh atau perdamaian dengan mengajukan sesuatu selain yang dituntut sama halnya dengan mu’awadhah (pertukaran), sebagaimana seseorang mengatakan, “Aku berdamai denganmu atas tagihanmu dengan pembayaran pakaian ini.” Hal seperti ini sama kedudukan hukumnya dengan transaksi jual beli.
Melakukan perdamaian dengan menghapus sebagian tagihan sama halnya dengan pembebasan jika yang ditagih itu berupa piutang. Untuk itu, tidak diperlukan lagi seandainya pihak penagih tidak mengatakan, “Aku bebaskan (sebagian) tanggunganmu.”
Perdamaian harus disertai bukti
Perdamaian tidak berarti sekiranya pihak penuntut tidak mempunyai bukti, sedangkan pihak yang ditagih bersikap menyangkal tagihannya atau bersikap diam (abstain). Tidak sah melakukan shuluh (perdamaian) terhadap pihak yang menyangkal, sekalipun pihak penagih (penuntut) benar dalam dakwaannya. Lain halnya dengan ketiga lainnya (Imam Malik, Imam Hnafi, dan Imam Hambali) yang berpendapat berbeda.
Pihak penuntut yang berhak memang diperbolehkan mengambil apa pun yang diberikan kepadanya dalam transaksi shuluh terhadap terdakwa yang ingkar. Kemudian jika ternyata barang yang diterima itu bukan dari jenis barang yang dituntut, maka dia dinamakan penyita.