Para ulama lebih memprioritaskan masalah pertama, yaitu khiyar ‘aib bagi pihak pembeli, karena kebanyakan uang yang dipakai sebagai alat pembayaran bersift resmi, hingga jarang terjadi adanya kecacatan (kepalsuan).
Yang dimaksud engan cacat sejak semula ialah cacat yang terjadi bersamaan dengan waktu transaksi, atau terjadi sebelum penerimaan barang, sedangkan cacat tersebut masih tetap ada hingga pembatalan transaksinya. Tetpi jika cacat terjadi sesudah barangnya diterima oleh pihak pembeli, maka dia tidak mempunyai hak khiyar lagi (untuk mengembalikan barang tersebut kepada penjual).
Jika cacat tersebut terdapat pada budak yang dijual, misalnya berpenyakit istihadhah (keputihan), telah bersuami (bagi budak perempuan), suka mencuri, suka minggat atau suka berzina (bagi budak laki-laki). Dia pernah melakukan salah satunya walaupun tidak berulang-ulng dan telah bertobat, baik dia itu perempuan ataupun laki-laki. Contoh lainnya ialah budak yang suka mengompol di tempat tidur, padahal sudah berusia 7 tahun; atau mulut dan badannya berbau tidak sedap.
Termasuk cacat pada budak ialah jika budak tersebut suka mengadu domba, suka mencaci, suka berdusta, suka makan tanah liat, suka minum minuman keras (yang memabukkan), tidak mau salat sebelum mau bertobat, tuli, dungu, berkaki pengkor, berpenyakit ratqa (liang kemaluannya tertutup daging tumbuh), sedang hamil (jika manusia, bukan ternak), usianya sudah 20 tahun tetapi tidak pernah haid, atau salah satu buah dadanya lebih besar.
Cacat lain (jika berupa ternak) adalah suka larat, suka menggigit, dan suka menendang. Jika berupa rumah, menjadi tempat peristirahatan tentara, didiami jin yang selalu mengganggu penghuninya; atau jika berupa lahan, misalnya banyak keranya yang suka memakan dan merusak tanamannya.
Khiyar ‘aib (boleh mengembalikan barang yang sudah dibeli) ditetapkan pula bagi pihak pembeli lantaran pihak penjual lantaran pihak penjual menipunya. Perbuatan ini hukumnya haram karena menyembunyikan kecacatan atau merugikan orang lain, seperti menahan air susu sapi perahan selama beberapa waktu sebelum sapi tersebut dijual, dengan maksud agar pembeli menyangka banyak susunya. Termasuk menipu ialah mengeritingkan rambut budak perempuan (yang akan dijual)