Menurut Sayyidina ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada sepuluh perkara yang tidak maslahat apabila tidak ada/tidak dibarengi sepuluh perkara lagi (lainnya).
Hubungan akal dengan wara’
Pertama, tidak beres/maslahat akal dengan tidak dibarengi wara’ (apik/hati-hati). Maksudnya adalah menjauhi dari perkara yang telah dilarang.
Menurut ‘Amir bin Qais, dimana-mana mengekang akal kalian kepada kalian dari perkara yang tidak pantas, maka kalian termasuk yang memiliki akal sempurna.
Rasulullah saw bersabda, “Akal merupakan cahay di dalam hati yang memisahkan antara yang haq dengan yang batil.”
Hubungan amal dengan ilmu
Kedua, tidak beres amal apabila tidak disertai ilmunya. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, “Amal yang paling utama adalah mengetahui agama Allah. Sebenar-benarnya ilmu itu bermanfaat buat kalian serta ilmu amal yang sedikit dan amal yang banyak. Dan kebodohan tidak ada manfaatnya buat kamu, serta bodoh itu amal yang sedikit maupun yang banyak.” HR Imam Hakim
Hubungan kebahagiaan dengan takut kepada Allah
Ketiga, tidak ada kebahagiaan apabila tidak dibarengi takut kepada Allah. Maksudnya tidak ada maslahatnya keberhasilan yang dicari. Dan tidak ada manfaatnya selamat dari kerusakan apabila tidak dibarengi rasa takut kepada Allah.
Diterima dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, “Tidak akan masuk neraka orang yang menangis karena takut siksaan Allah, sehingga masuk air susu ke dalam susunya (tegasnya saking tidak akan bisanya).
Hubungan pemimpin dengan sifat adil
Keempat, tidak akan beres/maslahat raja/pemimpin apabila tidak dibarengi dengan adil. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Orang yang paling dicintai oleh Allah di hari kiamat, dan orang yang paling dekat dengan-Nya adalah imam dan pemimpin yang adil. Dan orang yang paling dibenci oleh Allah di hari kiamat, dan yang paling jauh dari-Nya adalah imam yang dhalim.” HR Ahmad dan Tirmidzi
Kelima, tidak ada maslahatnya keturunan mulia (karena ilmu dan keberanian) apabila tidak disertai adab.
Menurut sebagian hukama bahwa ilmu itu merupakan kemulyaan yang tiada harganya (saking tingginya), serta adab adalah harta yang tidak ada ketakutan madharatnya.
Keenam, tidak ada kesenangan apabila tidak disertai keamanan (ketenteraman hati).
Hubungan kekayaan dan kedermawanan
Ketujuh, tidak ada kekayaan dengan harta apabila tidak disertai kedermawanan. Rasulullah saw bersabda, “Orang yang sering memberi itu dekat dengan rahmat Allah, yang dekat dengan orang-orang, dan dekat dengan surga, serta jauh dari neraka. Orang yang pelit jauh dari rahmat Allah, jauh dari orang-orang, jauh dari surga, dan dekat dengan neraka. Orang bodoh yang dermawan/suka memberi lebih dicintai oleh Allah daripada orang tukang ibadah tapi pelit.”
Kedelapan, tidak ada maslahatnya faqir apabila tidak disertai qanaah. Rasulullah saw bersabda, “Kamu harus menjadi orang yang wara’/apik, maka tentu kamu akan menjadi orang yang paling banyak ibadah. Dan kamu harus menjadi orang yang qanaah, maka tentu kamu akan menjadi orang yang paling bersyukur. Kamu harus mencintai orang-orang terhadap perkara yang disukai oleh kamu untuk badanmu, maka kamu akan menjadi orang mukmin yang sempurna. Kamu harus membuat kebaikan kepada tetangga dekatmu, maka tentu kamu menjadi orang muslim yang sempurna. Serta kamu harus menyedikitkan tertawa, karena sebenar-benarnya banyak tertawa itu sering membunuh hati.”
Menurut Syeikh Abdullah al Mubarak bahwa memperlihatkan kekayaan ketika faqir itu lebih bagus daripada faqir.
Hubungan keluhuran dengan tawadhu
Kesembilan, tidak ada maslahatnya keluhuran (dalam nasab dan turunan ningrat), apabila tidak dibarengi dengan tawadhu. Yaitu pasrah terhadap yang haq.
Hubungan jihad dengan taufik
Kesepuluh, tidak ada maslahat jihad/mengajak dakwah kepada agama yang haq apabila tidak dibarengi dengan taufik. Yaitu terbukti pekerjaan si ‘abdi itu yang me mufaqatan/cocok terhadap perkara yang dicintai Allah dan yang diridhai-Nya. Rasulullah saw bersabda, “Jihad yang paling utama adalah kamu harus memerangi nafsu dan hawa kamu, dalam mencari keridhaan Allah swt.” HR Imam Dailami
Sumber: Kitab Nashaihul ‘ibaad kar,angan Syeikh Muhammad Nawawi bin ‘umar