Keterangan yang diterima dari Syeikh Hasan Bashari rahimahullah, bahwa menurut beliau kerusakan hati itu diakibatkan oleh enam macam perkara:
- Orang-orang mengerjakan dosa sambil berharap diterima taubatnya. Dan dalam sebagian kitab mengharapkan rahmat. Nah, yang seperti itu adalah tamanni, artinya mengharapkan perkara yang mustahil (melamun).
- Orang-orang mengetahui tentang ilmu tetapi tidak mau mengamalkannya. Padahal sebenar-benarnya buahnya ilmu adalah amal.
- Apabila beramal tidak ikhlas, sedangkan kalau tidak ikhlas dalam beribadah, maka dia belum benar dalam ibadahnya. Benar itu adalah asal, sedangkan ikhlas adalah cabang. Dari sebagiannya doa Imam Ahmad bin Hanbal radhiyallahu ‘anhu adalah seperti ini, “Yaa daliilal huyaaraa dullanii ‘alaa thariiqish shaadiqiina waj’alnii min ‘ibaadikal mukhlashiina.” Yang artinya, “Hai Dzat yang menunjukkan kepada yang bingung, semoga Allah menunjukkan kepadaku terhadap jalan yang benar, dan semoga Allah menjadikanku dari sebagiannya ‘abdi-Mu yang ikhlas.”
- Sering memakan rizki dari Allah tetapi tidak mau bersyukur. Yang disebut syukur adalah menjadikan anggota tubuh dalam mencari keridhaan Allah, dan mensyukuri harta dalam mardhatillah.
- Tidak ridha terhadap bagian dari Allah, yang diaplikasikan dalam beberapa tingkahnya. Sudah berkata Sayyidi ‘Abdul Qadir Jailani quddisa sirruhu, “Kamu harus ridha dengan kerendahan, dan kamu harus tetap berdiam dalam kerendahan dengan sebenar-benarnya. Maka kamu akan dipindahkan ke tempat yang lebih luhur dan yang lebih bagus. Dan dengan ridha terhadap kerendahan, maka kamu akan merasa nyaman. Dan kamu ditetapkan serta dijaga dengan tidak merasa cape di dunia maupun di akhirat. Kemudian kamu bakal masuk dari tempat (maqam) itu, ke perkara yang lebih bahagia dan yang lebih enak.
- Orang-orang mengubur yang mati, tetapi mereka tidak mengambil i’tibar darinya (tidak ingat terhadap mati). Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya alam kubur itu adalah awalnya tempat akhirat. Apabila seseorang selamat di alam kubur, maka tempat setelah kubur akan lebih gampang daripada kubur. Dan apabila seseorang tidak selamat dari siksa kubur, maka yang setelahnya itu akan lebih berat daripada kubur.” HR Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim
Sumber: Kitab Nashaihul ‘ibaad karangan Syeikh Muhammad Nawawi bin ‘umar