Suami istri boleh melakukan khiyar

Masing-masing pihak dari suami istri diperbolehkan melakukan khiyar karena tidak terpenuhinya suatu syarat yang disebutkan di dalam akad (yakni ketika akan dilangsungkan), bukan sebelumnya. Misalnya disyaratkan pada salah satu pihak dari kedua mempelai berstatus merdeka, berketurunan baik, cantik atau tampan, kaya atau perawan, jejaka atau bebas dari berbagai macam cacat.

Sebagai contohnya di dalam akad dikatakan, “Aku nikahkan kamu dengan syarat masih perawan atau orang yang berstatus merdeka.” Jika kenyataannya tidak seperti yang disyaratkan dalam akad, maka pihak suami boleh mem-fasakh (membatalkan) nikah, sekalipun tanpa kadi.

Seandainya pihak suami dalam akadnya mensyaratkan keperawanan, dan ternyata dia menjumpainya sudah bukan perawan lagi, kemudian pihak istri mengakui bahwa keperawanannya itu hilang sejak bersuamikan dia, sedangkan dia menyangkalnya, maka ygn dibenarkan adalah pihak istri melalui sumpahnya, demi mencegah terjadinya fasakh nikah.

Atau pihak istri mengakui bahwa yang merobek keperawanannya adalah ketika suaminya menggaulinya, sedangkan pihak suami mengingkari hal itu. Maka yang dibenarkan adalah pihak istri, tetapi melalui sumpah, demi mencegah terjadinya fasakh nikah pula. Hanya saja, pihak suami dibenarkan pula melalui sumpahnya agar dia hanya membayar separo maskawin, bila ternyata dia menceraikan sebelum menggaulinya.

Sebagian norma-norma keseimbangan tidak dapat menambal sebagian yang lainnya. Untuk itu, wanita ‘Ajam yang merdeka tidak boleh dikawinkan dengan budak laki-laki dari Arab, dan tidak pula wanita merdeka yang fasik dengan budak yang memelihara kehormatannya.

Menurut Al-Mutawalli pekerjaan tukang membuat roti bukan merupakan profesi yang rendah.

Apabila tradisi suatu daerah menganggap sebagian dari profesi rendah yang telah disebutkan di atas sebagai profesi yang utama, maka hal tersebut tidak dapat dijadikan pertimbangan. Hal yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan dari tradisi daerah tersebut hanyalah menyangkut jenis-jenis profesi yang tidak di-nash-kan di atas.

 

Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani

Related Posts