Yang termasuk ke dalam rukun nikah ada 4 perkara yaitu:
Rukun Nikah Adanya Ijab dan Kabul
Ijab merupakan ucapan wali kepada calon pengantin laki-laki, misalnya “Ankahtuka atau zawwajtuka atau ahlaltuka” (saya kainkan kamu dengan putriku… atau dengan kalimat aku halalkan bagimu putriku…).
Sedangkan qabul ialah ucapan penerimaan dari calon pengantin laki-laki, misalnya, “Nakahtuka atau tazawwajtuka atau qabiltu nikahahaa atau radhitu nikahahaa” (aku terima mengawininya, atau aku rela mengawininya).
Dan dalam qabul ini pun tidak diisyaratkan harus menggunakan bahasa Arab, meskipun ia dapat berbahasa Arab. Hanya saja diisyaratkan agar terjemahannya ke bahasa lain itu harus jelas dapat dimengerti oleh calon pengantin.
Dan antara ijab dan qabul itu tidak boleh ada pemisah waktu yang cukup lama, artinya harus langsung.
Rukun Nikah Adanya Sepasang Calon Suami Istri
Bagi calon pengantin perempuan disyaratkan tidak terikat dengan pernikahan atau masih dalam masa iddah. Dalam hal ini seorang perempuan dapat dipercaya perkataannya jika belum dketahui bahwa ia pernah melaksanakan perkawinan, atau calon pengantin mengaku bahwa suaminya telah meninggal dunia atau sudah menceraikan dirinya.
Jika tidak ada pengakuan demikian, maka belum cukup menjadi syarat bagi pengantin perempuan. Dan bagi calon suami cukup disyaratkan mengetahui bahwa calon pengantin perempuan ini dapat dikawin, artinya bukan mahram baik dari nasab atau dari sepersusuan.
Dan untuk ijab dan qabul ini disyaratkan menggunakan kalimat yang terang dan jelas. Oleh sebab itu wali tidak diperbolehkan hanya dengan berkata, “Aku kawinkan kamu dengan salah satu dari dua putriku atau aku kawinkan anak perempuanku dengan salah satu di antara kamu (calon pengantin laki-laki.”
Perkataan tersebut tidak diperbolehkan meskipun dengan berisyarat kepada salah satunya di waktu mengatakan ijab tersebut.
Rukun Nikah Adalah Adanya Wali
Adanya wali, yaitu ayah atau kakek (ayahnya wali), mereka dapat mengawinkan calon pengantin perempuan yang masih perawan atau gadis yang hilang kegadisannya dengan jalan diluar persetubuhan, seperti hilang disebabkan jari-jari yang dimasukkan ke dalamnya atau sebab lainnya kepada lelaki yang sepadan, mampu membayar maskawinnya meskipun tidak memperoleh perizinan dari calon pengantin perempuan yang masih gadis, asal tidak dikawinkan atas dasar permusuhan.
Berbeda dengan perempuan yang sudah janda lantaran pernah bersetubuh, maka tidak boleh dikawinkan kecuali sudah mendapat izin dari yang bersangkutan dengan kata-kata tegas, jika janda itu sudah dewasa.
Calon pengantin yang janda yang sudah dewasa dapat dibenarkan perkataannya dengan mengangkat sumpah sebelum akad perkawinan dimulai, meskipun ia belum pernah kawin. Dan tidak sah pengakuan janda tersebut setelah akan perkawinan meskipun memakai bukti.
Jika wali dari ayah atau kakek tidak ada, maka yang berhak menjadi wali adalah sebagi berikut: saudara lelaki sekandung, kemudian saudara lelaki seayah, kemudian anak laki-laki mereka. Kemudian paman seayah dan seibu, kemudian paman seayah saja, kemudian anak lelaki mereka, kemudian lelaki yang memerdekakan calon istri, kemudian lelaki yang mendapat bagian asobah dari ahli waris orang yang memerdekakan, kemudian perempuan yang memerdekakan calon istri, begitu juga dengan orang yang mendapatkan bagian asobahnya.
Orang-orang tersebut diatas dapat diangkat sebagai wali dalam perkawinan, mereka dapat mengawinkan janda yang sudah dewasa dengan syarat mendapat perizinan daripadanya secara lisan. Jika calon pengantin belum baligh, maka mereka dapat mengawinkannya dengan jalan diamnya setelah dimintai izin. Karena tanda persetujuannya adalah diamnya. Cara demikian diperbolehkan meskipun calon pengantin perempuan dikawinkan dengan calon pengantin laki-laki yang tidak sepadan.
Kemudian jika para wali itu tidak ada (karena mati) atau wali yang dekat nasabnya dengan calon pengantin perempuan itu pergi jauh sejauh dua marhalah, atau tidak diketahui kabar beritanya dimana ia berada, atau tidak mau menjadi wali, maka hakim berhak menjadi wali calon pengantin perempuan yang sudah dewasa untuk dikawinkan dengan orang yang sepadan, jika mereka masih bertempat di daerah kekuasaannya. Sungguhpun demikian, sang hakim tidak dapat menjadi wali perempuan yang dewasa jika dikawinkan dengan lelaki yang tidak sepadan, meskipun calon istri telah rela kepada lelaki itu.
Jika hakim sebagai wali dari anak perempuan yatim, maka sebagian besar para ulama telah sepakat bahwa perkawinannya tidak sah.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw sebagai berikut:
Setiap perempuan yang kawin tanpa seizin walinya maka pernikahannya adalah tidak sah (Nabi saw mengucapkannya sampai 3 kali).
Dan sabdanya pula yang artinya sebagai berikut:
Seorang perempuan tidak dapat menjadi wali untuk mengawinkan wanita lain, juga tidak dapat kawin sendiri tanpa adanya seorang wali. Karena sesungguhnya wanita yang berzina adalah wanita yang kawin tanpa wali.”
Rukun Nikah Adalah Adanya Dua Orang Saksi
Adanyan dua orang saksi, disyaratkan adalah dua orang yang merdeka, adil, dapat melihat, mendengar, memahami terhadap perkataan calon istri dan calon suami yang mengadakan akad perkawinan, juga tidak merangkap sebagai wali.
Secara lahiriah dua orang saksi itu boleh terdiri dari orang yang belum diketahui identitas keadilannya, jika yang menjadi wali yang mengawinkan selain hakim.
Untuk dua orang saksi yang belum diketahui identitasnya keadilannya hendaknya disuruh taubat terlebih dahulu sebelum akad perkawinan dimulai, tujuannya hanya berhati-hati dalam mengangkat saksi.
Kesamaran tentang keadilan dua saksi itu akan pudar jika ada orang adil yang menyatakan bahwa mereka adalah orang yang fasik. Seandainya orang fasik mau bertaubat seketika, di waktu akad perkawinan dimulai, maka taubatnya ini masih belum dapat diterima. Begitu juga tidak boleh mengawinkan amat (budak wanita) yang baik perilakunya bagi wali yang fasik yang taubat di waktu akad dimulai, jika amat itu belum istibra.
Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya:
Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan wali mursyid (jujur) dan dua orang saksi yang adil pula.
Jika ada pernikahan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut di atas, maka pernikahannya tidak sah.