Apabila Allah swt akan menghinakan ‘abdi-Nya, maka Allah akan membalikkan ‘abdi tersebut ke nafsunya (hawa nafsunya), maksudnya Allah memasrahkan kepada dirinya (terserah apa maunya si ‘abdi). Maka Allah tidak ikut mengurus dan tidak mendukung.
Ketika hawa nafsunya memenuhi dirinya, maka dia menjadi buta dan tuli. Sehingga dia beramal terhadap yang membuat tenteram dirinya, yang akhirnya akhiratnya dicaci, dan caciannya itu tidak aka akhirnya.
Sebaliknya dimana-mana Allah akan mengagungkan seorang ‘abdi dan menolongnya, maka Allah mendhohirkan kepada ‘abdi tersebut kehormatannya, lalu Allah mengurus, menjaga dan tidak membiarkan. Sehingga ‘abdi tersebut bisa mengendalikan nafsunya, lalu beramal dengan amal sholih yang sempurna, yang menghiasi dirinya. Orang-orang memuji dirinya dengan tanpa akhir.
Kalau kita bisa beramal kepada Allah, maksudnya bisa melakukan kebaikan dalam rangka tho’at dan takwa kepada Allah, maka kita harus bersyukur dan menyatakan bahwa amal baik ini merupakan hadiah dari Allah yang menjadi penghormatan bagi ‘abdi-Nya.
Diambil dari kitab Al Hikam karangan Assyeikh al Imam Ibni ‘Athoillah Assukandari (hikmah keseratus dua puluh satu)