Nikah menurut itilah bahasa adalah “gabungan atau kumpulan”. Orang Arab mengatakan tanaakahatil asyjaaru bilamana pohon-pohon saling bergabung satu sama lainnya.
Nikah menurut istilah syara’ ialah “suatu akad (transaksi) yang intinya mengandung penghalalan wathi’ (persetubuhan) dengan memakai kata nikah atau kawin.
Menurut pendapat yang sahih, pengertian hakiki dari nikah adalah akadnya, sedangkan secara majaz menunjukkan makna wathi’ (persetubuhan).
Hukum nikah
Pada prinsipnya nikah itu sunat hukumnya bagi orang yang memerlukan penyaluran biologis, sekalipun orang yang bersangkutan sibuk dengan urusan ibadahnya. Selain itu dia pun harus mampu mengadakan segala sesuatu yang menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya, seperti mas kawin, sandang yang mengikuti perubahan cuaca, dan nafkah sehari-hari.
Kesimpulan hukum tersebut berlandaskan pada hadis-hadis yang telah ditetapkan di dalam kitab-kitab sunnah.
Menangguhkan pernikahan bila belum siap berumah tangga
Bagi orang yang memerlukan penyaluran biologis, sedangkan dia belum mampu merealisasikan biaya dan tanggung jawabnya, sebaiknya ia menangguhkan nikah. Untuk meredam kebutuhan biologisnya itu dia dianjurkan berpuasa, bukan mempergunakan obat (penurun syahwat).
Bagi yang tidka mampu merealisasikan biaya dan beban tanggung jawabnya serta tidak memerlukan penyaluran biologis, hukum nikah makruh baginya.
Sekalipun hukum nikah itu sunat, bila dinazarkan maka hukumnya menjadi wajib.
Allah swt berfirman dalam surat An Nuur ayat 33, “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.”
Nabi Muhammad saw bersabda, “Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu mengadakan biaya, nikahlah. Sesungguhnya nikah itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kelamin. Barang siapa yang belum mempunyai kemampuan (mengadakan biaya), berpuasalah, karena sesungguhnya puasa itu dapat menjadi peredam baginya.”
Berpuasa bisa menurunkan birahi
Menurut makna hadis, cara meredam birahi adalah dengan berpuasa, tidak boleh memakai obat-obatan. Bilamana seseorang memakai obat-obatan hingga mengakibatkan dirinya impoten, hukumnya haram. Tetapi bila pengaruhnya hanya melemahkan saja, hukumnya makruh.
Hal yang sama berlaku pula terhadap wanita yang memakai sesuatu untuk mencegah kehamilan, dengan rincian sebagai berikut: Apabila mengakibatkan matinya rahim, maka hukumnya haram; tetapi jika hanya memperlambat atau menjarangkan kelahiran, hukumnya makruh.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani