Orang yang tidak mengerti hukum diharuskan meminta fatwa kepada orang alim yang adil dan telah dikenal keahliannya. Kemudian bila dia menemukan dua orang mufti, jika dia berkeyakinan bahwa salah seorang di antara keduanya lebih alim daripada yang lain, maka dia harus memprioritaskan orang yang paling alim itu.
Di dalam kitab Ar Raudhah disebutkan bahwa seorang mufti dan seorang yang mengamalkan mazhab Syafii, dalam suatu masalah yang mempunyai dua alasan atau dua pendapat, tidak boleh berpegang kepada salah satunya tanpa pertimbangan dalam menanggapinya, melainkan dia harus melakukan penelitian, mana yang lebih kuat di antara keduanya. Umpamanya karena pendapat yang paling kuat tersebut dikeluarkan paling akhir, sekalipun kedua pendapat itu berasal dari ulama yang sama. Demikian menurut peraturan dalam mazhab Syafii tanpa ada yang memperselisihkannya.
Laki-laki yang ahli dalam bidang peradilan boleh dimintai keputusan hukum
Dua orang yang mempunyai urusan, sekalipun bukan menyangkut persengketaan, misalnya dalam masalah nikah, diperbolehkan meminta keputusan hukum dari seorang laki-laki yang ahli secara mutlak dalam masalah-masalah peradilan.
Pengertian mutlak tersebut artinya “keahlian yang dimintai keputusannya itu bukan hanya berkisar pada masalah itu saja.” lain halnya menurut pendapat segolongan ulama muta-akhkhirin yang berpendapat berbeda (yakni tidak disyaratkan adanya kemutlakan), sekalipun di tempat orang yang bersangkutan terdapat seorang kadi yang ahli. Lain halnya menurut apa yang disebut di dalam kitab Ar Raudhah yang berpendapat berbeda (yakni masalahnya harus dilimpahkan kepada kadi, tidak boleh dilimpahkan kepada seseorang yang disetujui oleh kedua belah pihak.)
Orang yang tidak ahli dalam masalah peradilan tidak boleh dimintai keputusan hukumnya, jika di tempat yang bersangkutan terdapat kadi yang ahli. Jika tidak ada kadi yang ahli, barulah diperbolehkan mengangkat seseorang untuk memutuskannya, sekalipun dalam masalah nikah, dan di tempat orang-orang yang bersangkutan terdapat seorang mujtahid.
Tetapi menurut Ibnu Hajar, orang adil yang diangkat menjadi hakim tidak boleh mengawinkn kecuali jika kadi daerah setempat tidak ada, sekalipun hanya kadi yang bukan ahli.
Tidak boleh secara mutlak mengangkat orang yang tidak adil menjadi seorang hakim.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani