Wajib membaringkan mayat, menghadapkannya ke kiblat, dan sunat melekatkan (menempelkan) pipi kanan mayat ke tanah setelah dibuka kafannya, sebagai pengungkapan bahwa dirinya hina dan rendah derajatnya (di hadapan Allah); kepalanya diganjal dengan tanah yang dikepal.
Makruh memakai peti. Tetapi bila keadaan tanah lembab, wajib memakainya. Haram mengubur mayat tanpa sesuatu (misalnya papan atau bambu) yang dapat mencegah mayat dari reruntuhan tanah.
Haram mengubur dua mayat yang berlainan jenis (laki-laki dan perempuan) dalam satu kuburan, jika keduanya bukan mahram atau bukan suami istri. Adapun suami istri atau yang sama mahramnya hukumnya makruh (bila disatukan), seperti halnya makruh mengubur mayat banyak yang sama jenisnya tanpa keperluan atau darurat (misalnya karena mayat banyak dan sulit dipisah-pisahkan, sebagaimana Nabi saw pernah mengubur sahabat-sahabatnya yang gugur di Gunung Uhud).
Haram pula memasukkan mayat ke dalam kuburan mayat orang lain yang belum punah atau hancur seluruh badannaya, sekalipun sama jenisnya. Untuk mengetahui apakah seluruh badan mayat dalam kuburan itu sudah punah atau belum, hendaklah diserahkan (meminta pendapat) kepada ahli ilmu dalam hal tanah.
Seandainya dalam kuburan itu ditemukan sebagian tulang mayat sebelum selesai penggalian, maka wajib ditimbun kembali tanahnya. Atau tulang itu ditemukan setelah penggalian selesai, maka tidak wajib menimbunnya lagi dan boleh menguburkannya kembali beserta tulang mayat orang lain itu.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani