Tidak termasuk ke dalam pengertian “janda karena telah digauli” ialah gadis yang hilang keperawanannya karena sesuatu hal, seperti ulah jari tangan. Maka sehubungan dengan dia hukumnya sama dengan perawan, yakni diam sudah cukup sebagai pertanda kesediaannya untuk dikawinkan, setelah dimintai persetujuannya.
Disunatkan bagi ayah dan kakek meminta izin terlebih dahulu kepada anak perempuannya yang masih gadis dan telah berusia balig (bila akan mengawinkannya) demi menenteramkan kekhawatiran kalbunya.
Sehubungan dengan gadis yang belum balig, bagi pihak wali tidak usah meminta izin lagi kepadanya. Pembahasan mengenai anjuran meminta izin dari gadis yang telah tamyiz dan gadis lainnya ialah dengan mengadakan persaksian atas kesediaannya.
Budak yang dimerdekakan oleh sekelompok orang
Seandainya ada segolongan orang memerdekakan seorang budak perempuan, disyaratkan adanya kerelaan dari semuanya. Maka mereka mewakilkan kepada salah seorang di antara mereka atau orang lain (untuk mengawinkannya).
Seandainya ada salah seorang dari mereka bermaksud mengawininya, maka semua yang lainnya menikahknnya bersama dengan kadi.
Seandainya semua telah meninggal dunia, maka kerelaan cukup dari setiap orang dari kalangan ‘ashabah masing-masing.
Seandainya sejumlah ‘ashabah orang yang memerdekakan terhimpun dalam satu derajat, maka salah seorang dari mereka diperbolehkan menikahkan wanita yang mereka merdekakan dengan kerelaan dari wanita yang bersangkutan, sekalipun ‘ashabah lainnya tidak rela.
Kemudian jika semua ‘ashabah nasab dan wala’ telah tiada, maka yang mengawinkannya adalah kadi atau wakilnya, karena ada sabda Nabi saw yang mengatakan: “Sultan adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.”
Yang dimaksud denga sultan adalah orang yang memiliki kekuasaan, seperti imam para kadi dan wakil-wakilnya.
Untuk itu, kadi boleh menikahkan dia (wanita yang tidak mempunyai wali) dengan laki-laki yang seimbang, bukan dengan laki-laki lainnya. Dengan syarat, hendaknya dia telah berusia balig dan berada di daerah kekuasaan si kadi yang bersangkutan ketika akad dilakukan, sekalipun izin yang dia berikan sewaktu ia berada di luar, tetapi di saat akad nikah dilangsungkan ia sedang memasuki daerah wilayahnya.
Jika dia masih berada di luar daerah wilayah kekuasaannya di saat akad nikah berlangsung, kadi tidak boleh menikahkannya, sekalipun dia memberikan izin kepada kadi ketika hendak berangkat ke luar meninggalkannya, atau calon mempelai lelaki berada di daerah kekuasaan si kadi, karena status kewalian atas dia tidak ada kaitannya dengan calon mempelai laki-laki.
Tidak termasuk ke dalam pengertian “wanita yang balig” yaitu wanita yang masih belum balig. Untuk itu, kadi tidak boleh menikahkannya sekalipun si kadi bermazhab Hanafi dan sultan yang bernazhab Hanafi tidak mengizinkannya pula.
Pengakuan seorang wanita yang menyatakan telah berusia balig dengan haid atau mengeluarkan air mani dapat diterima tanpa sumpah lagi, karena tiada yang mengetahuinya kecuali hanya dia sendiri. Sedangkan pengakuan balig berdasarkan usia tidak dapat diakui kecuali dengan adanya bukti (yakni dua orang saksi) yang akan menyebutkan jumlah tahun-tahun yang dilewatinya.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani