Mengenai keadaan orang-orang yang berbuat dzalim (aniaya) dijelaskan dalam hadis di bawah ini:
dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad dalam hadis yang diriwayatkan beliau dari Tuhannya, Dia berfirman, “Hai hamba-hambaku, sesungguhnya Aku mengharamkan perbuatan aniaya pada Dzat-Ku sendiri dan pada hamba-hamba-Ku, maka janganlah kamu saling berbuat aniaya.”
Arti dari hadis ini adalah ‘Aku Maha Suci dan Maha Tinggi dari perbuatan aniaya.”
Nabi Muhammad bersabda, “Berhati-hatilah terhadap perbuatan aniaya, karena perbuatan aniaya itu adalah kegelapan-kegelapan di hari kiamat. dan berhati-hatilah terhadap kekikiran, karena kekikiran itu telah mencelakakan orang-orang sebelum kamu. Kekikiran telah mendorong mereka untuk menumpahkan darah mereka dan menghalalkan haram-haram mereka.”
Hadis tersebut memiliki pengertian bahwa perbuatan aniaya memang merupakan kegelapan bagi yang melakukannya. Dia tidak dapat melihat jalan di hari kiamat, dimana nur orang-orang mukmin berjalan di depan mereka dan di kanan mereka.
Kegelapan disini juga dapat diartikan sebagai kesulitan-kesulitan. Sedang sabda Nabi, ‘karena kekikiran telah membinasakan orang-orang sebelummu,’ maksudnya adalah kebinasaan di dunia dan akhirat.
Nabi Muhammad bersabda, “Barang siapa yang di sampingnya terdapat sebuah penganiayaan milik saudaranya, baik berupa harga diri atau sesuatu yang lain, maka hendaklah dia minta halalnya pada hari ini sebelum tidak lagi ditemukan dinar dan dirham ( di akhirat). Jika dia memiliki sebuah amal shalih diambillah sebagian amal shalihnya menurut kadar penganiayaan. Dan jika dia tidak memiliki kebaikan maka diambillah kejahatan kawannya itu dan dipikulkan di atas pundaknya.”
Bila ada yang bertanya bahwa hal ini berlawanan dengan firman Allah dalam surat Al An’aam ayat 164, “Dan seorang yang berdosa tidaklah memikul dosa orang lain.”
Jawabannya ialah orang yang berbuat aniaya pada hakekatnya dibalas dengan kadar perbuatan aniayanya. Adapun diambil sebagian kejahatan orang yang dianiaya, adalah untuk meringankannya dan untuk lebih membuktikan keadilan. Jadi arti ayat tersebut adalah bahwa seseorang yang berkata pada yang lain, “Aku tanggung dosamu.” Tidaklah disiksa sebab dosa itu akhirat.
Menurut Al Faqih bahwa tidak ada suatu dosa yang lebih besar daripada perbuatan aniaya. Karena dosa itu apabila ada di antara engkau dengan Allah, maka Allah Maha Pemurah untuk mengampunimu. Tetapi jika dosa itu ada di antara engkau dengan sesama hamba, maka tidak ada upaya lain kecuali membuat ridha hati musuh. Karena itu seharusnya orang yang telah berbuat aniaya segera bertaubat dari perbuatan aniaya dan minta halal kepada orang yang telah dianiaya di dunia. Jika dia tidak bisa seharusnya dia memohonkan ampunan untuk orang yang dianiaya itu dan mendoakannya, karena dengan demikian diharapkan dia akan menghalalkannya.
Dari Maimun bin Mihran, sesungguhnya seorang laki-laki apabila telah menganiaya seseorang, dia mengharapkan untuk minta halal kepadanya tetapi tidak ada kesempatan lagi dan tidak bisa, lalu dia memohonkan ampun untuknya sesudah setiap shalat maka keluarlah dia dari penganiayaannya.
Sumber: Durrotun Nasihin