Diceritakan oleh Al Qusyairi dari Abu Ja’far Al Bulkhi berkata, “Dahulu ada seorang pemuda dari penduduk Bulk yang rajin dalam beribadah, tapi sayangnya ia suka sekali membicarakan aib orang lain. ia selalu berkata, ‘Si Fulan mempunyai aib begini dan yang satu lagi begitu dan lain sebagainya.’
Tiba-tiba pada suatu hari aku melihat pemuda itu sedang berkumpul dengan orang-orang banci yang lagi mencuci pakaian. Lalu pemuda itu pergi dari golongan mereka. Maka aku bertanya kepadanya, “Wahai Fulan, bagaimana keadaanmu?” Jawabnya, “Membicarakan dan membuka aib orang lain itu telah menjerumuskan aku kesini. Aku kena coba dengan salah seorang banci, lalu aku terpaksa menjadi pelayan mereka. Seluruh ketenangan batin dan pendekatan diriku kepada Allah, sekarang semuanya sudah lenyap. Oleh sebab itu, doakan kepada Allah agar Allah memberikan rahmat-Nya kepadaku.”
Kisah tentang bahayanya menggunjing orang
Diceritakan oleh Al Yafi’i dari Junaid, berkata, “Aku pernah duduk-duduk di masjid Suniziyah untuk menanti shalat jenazah. Lalu aku melihat seorang fakir yang mempunyai ciri-ciri seorang yang shalih, sedang meminta-minta. Lalu tergeraklah di dalam hatiku, ‘Seandainya orang ini mau bekerja sehingga dapat memelihara dirinya dari meminta-minta, niscaya akan lebih baik baginya.’
Kemudian ketika pada malam harinya aku bangun sebagaimana biasanya untuk mengerjakan shalat, membaca wirid, menangisi dosa-dosaku, tapi kali ini mendadak tidak dapat bangun dan terasa berat bagiku untuk menyelesaikan wiridku pada malam itu, sehingga aku hanya dapat berjaga malam dengan duduk, lalu tertidur dalam dudukku itu. Dalam tidurku kali ini aku bermimpi bertemu dengan orang yang fakir itu, seolah-olah menjadi kambing yang dipanggang, lalu dihidangkan kepadaku di atas meja. Kemudian ada orang yang berkata, ‘Sekaranglah maka dagingnya, kamu tadi telah menggunjingnya!’ aku pun berkata ‘Aku tidak pernah menggunjingnya, aku hanya berkata di dalam hatiku.’ Orang itu berkata lagi, ‘orang yang seperti kamu tidak selayaknya menggunjing orang lain, meskipun hanya di dalam hati. Oleh sebab itu, pergilah dan mintalah maaf kepadanya.’ Ketika pagi telah tiba, akupun segera mencarinya sehingga kulihatnya di suatu tempat untuk mengambil dedaunan dan sayuran yang jatuh dari orang-orang yang sedang mencucinya lalu jatuh dan tidak diambilnya lagi. Ia sedang duduk-duduk di tepi sungai. Lalu aku mengucapkan salam kepadanya, dan ia pun membalasnya seraya berkata, “Kamu ulangi lagi, wahai Abu Qasim?” jawabku, ‘tidak’ lalu ia berkata lagi, ‘Sekarang pergilah semoga Allah memberikan pengampunan kepada kita dan kepadamu’.”