Apabila seorang awam berpegang kepada suatu mazhab, maka dia harus menurutinya. Jika tidak mau menurutinya, ia diharuskan memegang salah satu di antara mazhab yang empat, tetapi tidak boleh yang lainnya.
Kemudian ia diperbolehkan berpindah mazhab ke mazhab yang lain secara keseluruhan, sekalipun dia telah mengamalkan mazhab yang pertama, atau dalam beberapa masalah tertentu, tetapi dengan syarat “jangan terjadi rukhshah yang berturut-turut.”
Pengertian mengambil rukhshah secara berturut-turut ialah acak-acakan. Umpamanya dia mengambil dari setiap mazhab masalah-masalah yang paling ringan saja, kemudian disadur menjadi suatu sikap. Hal ini menyebabkannya menjadi orang yang fasik, menurut pendapat yang beralasan kuat.
Di dalam kitab Al Khadim disebutkan dari sebagian ulama yang terkenal hati-hati, bahwa hal yang paling utama bagi seseorang yang menderita penyakit waswas ialah mengambil pendapat yang paling ringan dan ruksshah-rukshshah, agar penyakit waswas itu tidak semakin parah yang akhirnya dapat membuatnya menyimpang dari syariat.
Tetapi orang yang tidak menderita penyakit waswas dianjurkan mengambil pendapat yang paling berat, agar jangan menyimpang dari batasan-batasan yang diperbolehkan.
Janganlah seorang awam men-talfiq (mengacak) dua pendapat yang pada akhirnya menghasilkan hakikat yang tumpang tindih, padahal masing-masing dari kedua pendapat yang diacaknya itu tidak mengatakan demikian.
Di dalam kitab Fatawi disebutkan, “Barang siapa ber-taklid mengikuti seorang imam dalam suatu masalah, maka ia diharuskan berpegang kepada ketentuan mazhab tersebut dalam masalah yang dimaksud dan semua hal yang berkaitan dengannya.”
Sebagai contoh ialah orang yang salat menghadap ke arah yang melenceng dari arah Ka’bah. Orang tersebut merupakan pengikut mazhab Hanafi. Maka, ia dalam wudunya diharuskan mengusap kepala sampai pertengahan, jangan ada darah yang mengalir dari tubuhnya setelah wudu (karena kalau ada darah yang mengalir dari tubuhnya berarti wudunya batal), dan hal-hal yang serupa lainnya.
Jika orang yang bersangkutan tidak melakukan demikian, berarti salatnya batal menurut kesepakatan dua mazhab yang diikutinya; hal ini hendaklah diperhatikan.
Pendapat ini disetujui oleh Allamah Abdullah Abu Makhramah Al Adani, dan ia menambahkan bahwa persyaratan yang telah disebut di atas telah diterangkan pula oleh bukan hanya seorang ulama ahli tahqiq dari kalangan ahli ushul fiqih, diantaranya ialah Ibnu Daqiqui Ied dan As Subuki. Dinukil oleh Al Asnawi di dalam kitab At Tamhid, dari Al Iraqi.
Menurut Ibnu Ziad di dalam Al Fatawi, “Yang kami simpulkan dari perumpamaan mereka adalah, penggabungan mazhab yang dicela hanya terdapat pada kasus bila penggabungan tersebut dilakukan dalam suatu masalah.”
Di antara perumpamaan yang mereka ketengahkan ialah: Apabila seseorang melakukan wudu, lalu memegang wanita karena taklid kepada Imam Abu Hanifah, lalu ia melakukan hujamah karena taklid (mengikuti) kepada mazhab Syafii, kemudian ia melakukan salat (setelah kesemuanya). Maka salatnya batal, berdasarkan kesepakatan kedua imam yang menyatakan bahwa hal tersebut membatalkan wudu.
Demikian pula halnya seandainya dia berwudu, lalu memegang wanita tanpa syahwat (berahi) karena mengikuti mazhab Imam Malik; dan ia tidak melakukan gosokan ketika wudu karena mengikuti mazhab Imam Syafii, lalu ia salat. Maka salatnya batal berdasarkan kesepakatan kedua imam yang menyatakan wudunya batal.
Lain halnya penggabungan mazhab dilakukan terhadap dua masalah yang tidak berkaitan. Menurut pendapat yang kuat, hal seperti ini tidak membatalkan taklid.
Contohnya: Bila seseorang berwudu, lalu mengusap sebagian kepalanya, kemudian salat menghadap ke arah kiblat (bukan arah Ka’bah) karena mengikuti mazhab Abu Hanifah. Maka menurut pendapat yang kuat, salatnya sah, karena kedua imam tidak sepakat akan kebatalan wudunya.
Karena sesungguhnya perbedaan pendapat dalam masalah wudu secara terpisah tidak dapat dikatakan sebagai kesepakatan atas batalnya salat orang yang bersangkutan. Seperti yang telah kami katakan sejak semula, bahwa kesepakatan ini timbul dari penggabungan di antara dua masalah (wudu dan salat, bukan hanya masalah wudu saja). Menurut pemahaman kami hal ini tidak dapat merusak atau membatalkan keabsahan bertaklid.
Contoh lainnya: Apabila seseorang bertaklid kepada Imam Ahmad dalam masalah surat, yakni hanya dua kemaluan saja (yang harus ditutupi), sedangkan dalam masalah wudu ia meninggalkan berkumur dan istinsyaq atau membaca basmalah yang menurut Imam Ahmad diwajibkan. Maka menurut pengertian lahiriah, salat orang tersebut sah, jika dia bertaklid kepada Imam Ahmad dalam masalah menutupi aurat, karena kedua imam tidak sepakat atas kebatalan bersuci (wudu)nya yang berarti satu masalah. Hal ini tidak membahayakan adanya kesepakatan keduanya yang menyatakan bahwa salatnya batal, mengingat masalahnya terdiri atas dua bagian (yakni menutupi aurat dan bersuci); hal ini jelas tidak membatalkan taklid. Demikian menurut apa yang disimpulkan dari contoh yang dikemukakan.
Di dalam kitab Fatawa Al bulqini, dapat dilihat suatu kesimpulan yang menyatakan bahwa penggabungan di antara kedua masalah tidak merusak taklid.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani