Izin dari janda karena persetubuhan, diperbolehkan melalui ucapan perwakilan, seperti, “Kuwakilkan kepadamu untuk menikahkan diriku,” atau “Aku rela dengan orang yang disetujui oleh ayah atau ibuku atau akad yan dilakukan ayahku.” Tetapi tidak boleh mengucapkan, “Setuju terhadap akad yang dilakukan oleh ibuku,” karena ibu tidak dapat melakukan akad. Tidak boleh pula ia mengatakan, “Jika ayah atau ibuku menyetujuinya,” karena ada faktor ta’liq (menggantungkan).
Izin diperbolehkan pula melalui ucapan, “Aku rela si Fulan sebagai suami,” atau “Aku rela dikawinkan.” Diperbolehkan pula dengan ucapan, “Aku mengizinkannya untuk melakukan akad,” sekalipun dia (si wanita yang dimaksud) tidak menyebutkan kata “nikah”.
Seandainya ditanyakan kepadanya (si wanita), “Apakah engkau rela dikawinkan?” lalu ia menjawab, “Aku rela.” Hal ini dianggap sebagai izin kesediaannya.
Diam tanda izin perawan
Dianggap cukup pula sebagai izin ‘diamnya seorang perawan’, sekalipun dia seorang wanita terhormat, di saat dimintai izinnya untuk dikawinkan dengan lelaki yang sepadan atau lainnya; sekalipun dia menangis, tetapi bukan tangis jeritan atau yang disertai dengan memukuli pipi, karena ada hadis yang mengatakan:
Perawan diajak berunding, sedangkan kesediaannya ialah diamnya.
Demikianlah penjelasan dari kami tentang kesediaan janda dan perawan untuk dinikahkan, semoga uraian kami diatas dapat membawa manfaat bagi kita semua di dunia dan di akhirat.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani