Sunat membaca doa diawali dengan hamdalah dan shalawat serta mengangkat kedua tangan
Mengeraskan suara ketika berzikir dan berdoa di masjid secara berlebihan, sekira dapat menimbulkan keraguan kepada orang yang sedang shalat, maka sepantasnya diharamkan.
Disunatkan mulai berdoa dengan membaca hamdalah, shalawat kepada Nabi saw, demikian pula mengakhirinya, dan membaca amin.
Makmum yang mendengar doa imamnya disunatkan membaca amin, walaupun dia hafal doa itu.
Disunatkan mengangkat kedua tangannya seukuran kedua pundaknya, serta mengusap muka dengan kedua tangannyasesudah berdoa.
Disunatkan menghadap kiblat ketika zikir dan berdoa, baik munfarid ataupun berjamaah.
Apabila imam tidak berdiri (untuk pindah) dari tempat shalatnya, karena hal itu dipandang utama baginya, maka yang lebih utama yaitu menjadikan sebelah kanannya ke arah makmum dan sebelah kirinya ke arah kiblat.
Nabi saw bersabda, “Apabila salah seorang dari kamu berdoa, mulailah dengan mengagungkan Tuhannya Yang Maha Suci dan memuji-Nya, lalu membaca shalawat kepada Nabi saw, kemudian berdoa sekehendaknya.” (Riwayat Abu Daud)
Pujian yang paling lengkap adalah: Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiina hamdan katsiiran thayyiban mubaarakan fiihi ‘alaa kulli haalin hamdan yuwaafii ni’amahu wayukaafii-u maziidahu yaa rabbanaa lakal hamdu kamaa yanbaghii lijalaali wajhika wa’adhiimi shulthaanika subhaanaka laa nuhshii tsanaa-an ‘alaika anta kamaa atsnaita ‘alaa nafsika.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, dengan pujian yang melimpah nan indah, yang diberkati-Nya segala sesuatu, puji yang memadai akan nikmat-nikmat-Nya dan yang mengimbangi akan tambahannya. Ya tuhan kami! Bagi-Mu segala puji, sebagaimana yang sesuai dengan keagungan Dzat-Mu dan keagungan kekuasaan-Mu. Kami menyucikan-Mu dengan kesucian yang kami tidak mampu menghiting pujian atas-Mu. Sebagaimana Engkau memuji Dzat-Mu.
Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya Rabb-mu Dzat Yang Hidup lagi Pemurah. Ia merasa malu oleh hamba-Nya bila hamba itu mengangkat kedua tangannya kepada-Nya, lalu Ia mengembalikan kedua tangan itu dalam keadaan hampa (tiada dikabulkan).
Hikmah mengangkat tangan ketika berdoa dan berpindah tempat dari satu shalat ke shalat lainnya
Sayyidina Umar berkata, “Ketika Nabi saw mengangkat kedua tangannya kala berdoa, beliau tidak mengembalikannya sehingga mengusapkan mukanya lebih dahulu dengan kedua tangannya itu.” (Riwayat Abu Daud dan Turmudzi)
Apabila dalam keadaan genting, Nabi saw berdoa sambil mengangkat kedua tangannya lebih tinggi daripada meluruskannya dengan pundaknya, seperti ketika beliau berdoa pada waktu istisqa’, sampai terlihat ketiaknya. (Riwayat Muslim)
Hikmah mengangkat tangan adalah, bagian atas itu merupakan kiblatnya doa, tempat turunnya rezeki, tempat turun wahyu, tempat rahmat dan keberkahan Allah.
Berpalingnya imam (dari tempat shalatnya) tidak menggugurkan sunat zikir sesudah shalat, karena ia dapat mengerjakan zikir pada tempat yang dipindahi itu. Tidak gugur sunat zikir itu dengan mengerjakan sunat rawatib. Sesungguhnya yang gugur karena mengerjakan shalat sunat rawatib itu hanyalah keutamaan zikirnya.
Perkataan ulama itu bertujuan bahwa pahala zikir bisa diperoleh walaupun tidak memahami maknanya. Imam Asnawi menanggapi pendapat tersebut, bahwa hal itu tidak dapat disamakan dengan membaca Quran karena lafaznya dimaksudkan untuk ibadah. Oleh karena itu, pembacanya mendapat pahala meskipun tidak mengerti maknanya. Berbeda dengan zikir, harus mengerti maknanya, walaupun hanya garis besarnya (seperti Alhamdulillah, untuk memuji, dan yang lainnya).
Ketika shalat fardu atau sunat, disunatkan berpindah tempat dari suatu tempat shalat ke tempat lainnya, supaya tempat-tempat itu menjadi saksi baginya di akhirat nanti, sekira tidak bertentangan dengan keutamaan, misalnya di barisan pertama (kalau berpindah tempat ke baris belakangnya, maka tidak suant perpindahannya). Kalau tidak pindah, maka pisahlah dengan berbicara kepada orang lain (bukan soal ibadah wirid, sebab Nabi saw melarang menyambung satu macam shalat dengan shalat lain kecuali sesudah berbicara atau keluar) (Riwayat Muslim)
Shalat sunat di rumah lebih utama daripada di masjid serta disunatkan shalat menghadap ke dinding (pembatas)
Mengerjakan shalat sunat di rumah lebih utama (daripada di masjid) kecuali bagi orang yang i’tikaf, sekira tidak khawatir kehabisan waktu atau tidak terlalaikan atau terlupakan, kecuali salat sunat seseorang yang pergi ke masjid pagi-pagi untuk shalat jumat, salat yang disunatkan berjamaah (misalnya tarawih dan sebagainya), atau salat yang warid dari Nabi saw dikerjakan di masjid, misalnya shalat dhuha.
Makmum disunatkan berpindah tempat sesudah imamnya pindah, sabda Nabi saw, “Hai manusia, salatlah di rumah-rumahmu!sesungguhnya salat yang utama ialah salat seseorang di rumahnya, kecuali salah fardu.”
Orang yang mengerjakan shalat disunatkan menghadap ke sejenis dinding atau tiang, yaitu dari setiap barang yang tingginya 2/3 hasta atau lebih, dan jarak antara barang dengan tumit orang yang shalat adalah 3 hasta atau kurang sedikit. apabila tidak bisa demikian, maka dengan sejenis tongkat yang ditancapkan seperti (tumpukan) barang. Kalaupun tidak mendapatkan barang semacam tersebut, sunat menghamparkan sajadah sebagai tempat shalat.
Kemudian jika tidak mendapatkan semua itu, buatlah garis di depannya seukuran 3 hasa, melebar atau memanjang (1 hasta = 46, 2 cm); itulah yang lebih utama, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, “Apabila seseorang di antara kamu shalat, maka letakkanlah sesuatu di depannya. Kalau tidak mendapatkan, maka tancapkanlah tongkat. Kalau tidak ada tongkat, buatlah garis, kemudian tidak akan mudarat semua yang lewat di depannya.”
Di qiyaskan pada garis ialah tempat shalat (sajadah). Membuat garis harus didahulukan, sebab tempat shalat itu lebih jelas tujuannya dan tertib. Yang disebutkan tadi adalah yang mu’tamad. Berbeda dengan pendapat Syeikh Ibnu Muqri yang mempunyai anggapan (tidak unat memelihara tertib tersebut).
Haram lewat di depan orang shalat yang memakai tabir dan keutamaan shalat di masjid Nabi saw serta Masjidil Haram
Apabila berpindah ke tingkatan tertib yang lebih rendah, sedangkan ia bisa melaksanakan tingkatan tertib itu, maka dianggap tidak ada (dianggap tidak memakai penutup). Disunatkan tidak menaruh batas (penutup) tepat di mukanya, bahkan sebaiknya di sebelah kanan atau kirinya.
Setiap jajaran merupakan tabir bagi orang-orang yang berada di belakangnya kalau mereka berdekatan. Imam Baghawi berkata, “Tabir imam berarti tabir bagi orang-orang yang berada di belakangnya.”
Jika terjadi perselisihan antara memakai tabir dan dekat imam atau di baris pertama, maka manakah yang harus didahulukan? (apakah memakai penutup, tabir, tetapi jauh dari imam, atau dekat dengan imam tanpa penutup?) semuanya pantas, zhahirnya adalah perkataan ulama, “Dahulukanlah baris pertama di masjid Nabi saw (meskipun tanpa penutup) yang di nash dengan dilipatgandakan pahalanya; jika di luar masjid Nabi saw, lebih baik mendahulukan baris pertama dan dekat dengan imam.”
Sabda Nabi saw, “Shalat di masjidku ini lebih baik daripada 1000 kali shalat di selain masjidku, kecuali Masjidil Haram.” (kalau di Masjidil Haram dilipatgandakan 100 ribu kali)
Apabila shalat memakai sesuatu sebagai tabir, maka disunatkan baginya dan orang lain menolak orang yang lewat pada daerah di antara orang yang shalat dengan tabir yang memenuhi syarat, sebab jika yang melewatinya adalah seseorang yang mukallaf, sungguh melampaui batas.
Sabda Nabi saw, “Apabila seseorang diantara kamu shalat dekat sesuatu yang menjadi tabir manusia, tiba-tiba ada seseorang yang lewat di belakangnya, tolaklah orang itu. Kalau ia membangkang, bunuhlah! Sesungguhnya dia itu adalah setan.” (Riwayat Bukhari).
Haram lewat di antara orang-orang yang sedang shalat dengan memakai tabir seukuran disunatkan baginya untuk menolak. Kalau yang akan lewat tidak mendapatkan jalan, maka diperbolehkan menerobos barisan, meskipun banyak, selama orang yang shalat itu tidak lalai, misalnya ia mengerjakan shalat di jalan, atau baris di depannya masih kosong, sehingga ia menempati (mengisi) kekosongan itu.
Sabda Nabi saw, “Seandainya seseorang mengetahui bahwa lewat di depan orang yang shalat adalah dosa, tentu lebih baik baginya menunggu hingga 40 tahun daripada melewatinya.” (Riwayat bukhari dan Muslim)